Jadwal Shalat
Peran Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan
Sedangkan Konselor Sekolah tidak bisa dilihat seperti halnya guru mata pelajaran, karena tugas untuk membenahi dan membentuk kepribadian siswa sangatlah sulit karena kita selalu dihadapkan dengan penanganan melalui sisi yang berbeda. Misalnya apabila ada siswa yang nakal terkadang guru mata pelajaran dapat memberikan sangsi dikeluarkan dari kelas tidak boleh ikut mata pelajaran atau diberi sangai nilai sehingga siswa akan mengalami ketakutan. Namun disisi lain pribadi siswa belum terbentuk karena belum adanya kesadaran untuk merubah tetapi hanya merupakan perasaan takut kepada guru tsb.
Tugas dari Konselor sekolah dapat dilihat dalam POLA 17 Bimbingan Konseling. Hanya banyaklah kendala untuk mewujudkan peran konselor sekolah yang ideal karena ada beberapa hambatan yaitu :
1.Guru Mata Pelajaran terkadang tidak mau memahami akan keberadaan Konselor Sekolah.
2.Banyak guru Pembimbing/Konselor sekolah yang bukan dari lulusan sarjana Bimbingan dan Konseling tetapi hanya merupakan sambilan saja atau alih fungsi.
3.Pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional kurang profesional dalam menangani masalah ini, sehingga mudah saja peran dan fungsi konselor sekolah dapat dilaksanakan oleh siapapun padahan konselor sekolah sangat butuh keahlian akademis.
4.Banyak dan hampir rata-rata di sekolah Konselor sekolah tidak mempunyai fasilitas yang memadai untuk bekerja secara ideal.
5.Dari hambatan semua itu sehingga Konselor Sekolah kurang dipandang penting oleh siswa bahkan sering dikatakan POLSI SEKOLAH.
Salah satu elemen penting yang ada di lingkup sistem pendidikan sekolah adalah keberadaan layanan Bimbingan dan Konseling. Dalam SK MenDikBud No.025/D/1995 tercantum pengertian Bimbingan Konseling merupakan pelayanan bantuan untuk peserta didik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal dalam bimbingan pribadi, sosial, belajar dan bimbingan karir melalui berbagai layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Bimbingan dan Konseling merupakan pelayanan bantuan artinya kegiatan ini harus mampu memberikan hal-hal positif kepada peserta didik, membantu meringankan beban, menemukan alternatif pemecahan masalah, mendorong semangat dan memberikan penguatan serta ketenangan kepada peserta didik secara tepat. Peyanan tersebut dapat dilakukan secara individu maupun kelompok .
Kaitan Bimbingan dan Konseling (BK) dengan Kurikulum berbasis kompetensi sangatlah erat, Undang - Undang sistem Pendidikan Nasional (USPN) no:2 tahun 1989 pasal 1 ayat 1 sebagai acuan dari implementasi KBK menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi peran peserta didik dimasa yang akan datang. Hubungan yang terlihat dalam pengertian ini adalah kegiatan bimbingan merupakan bagian dari KBK yang pelayanannya menyentuh ranah afektif. Sementara kegiatan pengajaran yang bersifat formal lebih mengarah pada ranah kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Disinilah peran Bimbingan dan Konseling , yaitu membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi, tanggung jawab, hubungan interpersonal, motivasi, komitmen, daya juang serta pengembangan karir.
Profesi Bimbingan Konseling merupakan keahlian pelayanan yang bersifat psikopedagogis dalam bingkai budaya artinya bahwa pelayanan yang diberikan harus mengacu pada upaya pendidikan dengan memperhatikan aspek psikologis dan unsur budaya yang menyertainya. Tentu saja aspek budaya disesuaikan dengan kondisi daerah sekolah tersebut. Kebiasaan yang terjadi pada sekolah-sekolah di daerah tidak bisa dibuat pola yang sama dengan sekolah yang ada di kota. Misalnya dari sisi kebiasaan, sopan santun, kemampuan dsb. Profesi ini juga harus berlatarbelakang pendidikan yang sesuai dengan bidang psikologis.
Tugas Konselor sangat banyak karena selain administrasi juga mencakup beberapa layanan antara lain :
1. Layanan orientasi
Layanan ini mencakup pengenalan lingkungan sekolah yang baru baik dari sisi kurikulum , kegiatan pendukung, maupun struktur organisasi sekolah. Langkah awal yang bisa dilakukan dengan memasukkannya pada program kegiatan MOS dan diperjelas pada saat bimbingan klasikal di kelas.
2. Layanan informasi
Layanan mencakup berbagai informasi untuk menambah wawasan dalam merencanakan masa depan.
3. Layanan penempatan
Layanan ini membantu siswa menyalurkan bakat, minat atau kelanjutan studi yang dipilih melalui hasil belajar serta hasil psikotes sebagai bahan pertimbangan.
4. Layanan pembelajaran
Layanan ini membantu siswa mengembangkan diri kerkaitan dengan sikap dan kebiasaan belajar, materi belajar yang cocok dengan kemampuannya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya.
5. Layanan konseling individu/kelompok
Melalui layanan ini, siswa mendapat layanan langsung tatap muka untuk membantu mengatasi masalah baik yang disadari maupun tidak disadari oleh siswa secara individu atau kelompok. Layanan konseling dilakukan berdasarkan data administrasi bisa berupa angket, informasi dari berbagai pihak, observasi baik di dalam maupun di luar kelas, hasil belajar , penggalian masalah melalui materi bimbingan klasikal dll. Layanan konseling akan memberi nuansa berbeda jika ruang konseling terpisah dengan ruang administrasi sehingga privasi siswa maupun orang tua terjaga. Hal itu perlu mengingat masalah yang perlu diselesaikan bisa bersifat sangat pribadi.
6. Layanan bimbingan kelompok.
Layanan bimbingan kelompok bisa diberikan secara klasikal di kelas, layanan ini memberi banyak kesempatan untuk menyampaikan berbagai informasi yang terkait dengan bimbingan pribadi, sosial, belajar , karir dan layanan-layanan pada point di atas sekaligus menggali permasalahan siswa sebagai salah satu bentuk upaya menjemput bola. Karena Bimbingan dan Konseling tidak mempunyai kurikulum khusus maka materi yang dibuat berdasarkan berbagai sumber baik itu berupa literatur, browsing di internet, media elektronika maupun peristiwa hidup sehari-hari. Selain dapat memberi informasi, layanan ini juga mpermudah observasi terhadap anak dalam berperilaku di kelas, juga menggali berbagai data yang diperlukan untuk menyempurnakan pelayanan, sehingga jam masuk kelas setiap minggunya sangat mendukung tugas konselor.
Bentuk tugas yang sifatnya administrasi juga tidak kalah seru dari mulai membuat program kerja, mengumpulkan data, menghimpun data, mengadakan konfrensi kasus dengan pihak-pihak yang terkait, dan jika diperlukan mengadakan kunjungan rumah serta alih tangan kasus pada ahli yang lebih perkompeten.Namun paradigma yang berkembang saat ini terhadap peran petugas Bimbingan Konseling yang disebut Konselor sekolah masih dianggap sebagai momok oleh kebanyakan siswa, karena citra dan peran Konselor sekolah itu sendiri menampakkan sebutan tersebut. Konselor hanya berperan sebagai pemberi sangsi, menunggu bola dengan duduk anis menanti siswa yang ingin mendapatkan layanan konseling dan baru mengambil tindakan ketika masalah muncul. Sebaiknya konselor sekolah tidak menjadi bagian dari ketertiban sekolah. Jangan sampai muncul ebutan Konselor sebagai polisi sekolah. Sebutan tersebut juga terkait dengan keterlibatan Konselor dalam bidang ketertiban, hal itu terjadi karena pelanggaran yang dilakukan siswa akan mendapat sangsi yang mungkin sifatnya fisik, sementara konselor menangani masalah yang sifatnya psikis. Kesulitan untuk membedakan peran ini yang mempertegas sebutan tersebut. Kalaupun Konselor harus bertindak secara tegas untuk menangani pelanggaran yang dilakukan siswa maka hendaknya menggunakan pendekatan yang membuat siswa tetap merasa diakui sebagai pribadi yang berharga, dengan demikian siswa akan dengan rela menjalani resiko dari pelanggaran yang dibuat tanpa merasa terpaksa. Di samping itu masih ada institusi pendidikan yang mengangkat Konselor dari latarbelakang non psikologi sehingga tidak menutup kemungkinan tugas Konselor menjadi kabur.
Pelayanan dan tugas dalam Bimbingan dan Konseling membutuhkan tenaga yang ekstra karena jenis tugas yang diemban bersifat psikis. Pola pendekatan yang tepat sangat mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut. Di sekolah menengah peran yang diberikan adalah sebagai Guru, Orang tua dan Teman. Peran tersebut harus diberikan pada waktu yang sesuai misalnya ketika konseli ( siswa yang mendapat layanan konseling ) susah untuk digali permasalahannya maka konselor harus datang sebagai seorang teman/sahabat. Hal itu perlu karena sesuai dengan tugas perkembangan siswa yang mendapat layanan konseling di sekolah menengah telah memasuki masa remaja. Memang peran ini oleh sebagian rekan guru dianggap sebagai bentuk menjatuhkan wibawa karena siswa menjadi akrab dan norma-norma kesantunan sedikit bergeser padahal jika situasi itu terjadi peran sebagai Guru dimunculkan untuk mempertegas garis hubungan. Peran sebagai orang tua diperlukan saat konseli mampu mengungkapkan masalah, didengar, dibantu dan diteguhkan. Oleh karena itu peran sebagai guru, orang tua dan sahabat akan menjadi kunci penting mengadakan pendekatan dengan siswa.
Konselor memerlukan kepekaan dalam melakukan peran dan tugasnya, ibaratnya semua fungsi indera kita dapat digunakan untuk menangkap permasalahan yang dihadapi siswa. Misalnya dengan sekedar mendengarkan rekan guru bercerita tentang seorang siswa pada saat mengikuti PBM maka sudah bisa menjadi data yang bisa ditindaklanjuti dengan melengkapi data-data dari sumber lain. Penanganan masalah siswa tidak lepas dari kerja sama berbagai pihak antara lain wali kelas, orang tua dan pimpinan sekolah. Wali kelas merupakan relasi yang sangat erat karena mereka yang pertama kali dilibatkan dalam menangani masalah siswa di kelasnya. Segala permasalahan didiskusikan bersama dan dicari pemecahannya. Orang tua dipanggil ke sekolah setelah permasalahan dicoba selesaikan oleh siswa sendiri dibantu Konselor, kecuali jika kasus mendesak yang harus segera diselesaikan bersama orang tua. Peran pimpinan sekolah sebagai pendukung semua program akan sangat membantu terlaksanannya semua layanan, karena kebijakan yang diambil tidak lepas dari persetujuan impinan sekolah, begitu juga dengan pengadaan fasilitas Bimbingan dan Konseling.Bentuk pertanggungjawaban tugas konselor sekolah kepada pimpinan sekolah dengan membuat laporan tertulis mengenai kegiatan yang dilakukan dalam satu bulan meliputi kegiatan harian, layanan konseling, bimbingan klasikal di kelas dan absensi siswa.
Sistem KTSP yang mengharuskan ada aspek pengembangan diri juga menjadi bagian utama konselor. Pengembangan diri mencakup penerapan nilai yang diukur dengan skala tertentu. Hal itu penting mengingat tujuan pendidikan bukan hanya mencetak lulusan dengan nilai akademis tinggi tetapi juga mencetak lulusan dengan kondisi emosi sosial yang baik. Pengembangan diri menuntut aplikasi penerapan nilai yang dipantau oleh semua guru bidang studi dan dikelola oleh konselor sekolah. Pemantauan tersebut berdasarkan nilai-nilai hidup yang dilakukan saat siswa berada di sekolah, juga disisipkan dalam setiap kegiatan belajar mengajar.
Pada akhirnya, tidak ada bagian yang lebih penting dibanding bagian yang lain karena masing-masing bagian dalam sistem pendidikan di sekolah mempunyai peran dan fungsi sendiri-sendiri yang bersinergi dan saling melengkapi untuk membantu siswa mencapai kedewasaan yang optimal dalam berbagai aspek.Untuk itu, Konselor harus selalu mau belajar baik dari sisi mental spiritual maupun dari sisi tehnologi yang semakin canggih.
Sumber :
http://mgmpbk.multiply.com/journal/item/4/Peran_Bimbingan_dan_Konseling_di_Institusi_Pendidikan
Bimbingan dan Konseling Pendidikan
Pendidikan Yang Efektif
Kata efektif adalah sebuah kata yang mudah untuk diucapkan namun butuh usaha maksimum dan kontinyu untuk memperolehnya. Kata ini dapat bergabung dengan kata pendidikan menjadi "pendidikan yang efektif" dan selanjutnya kita dapat bertanya sudah efektifkah pendidikan kita atau hanya sekedar asal-asalan saja?
Dari tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal, informal dan non formal, maka pendidikan formal paling banyak disorot mulai dari mutu sampai dengan keefektifannya. Pendidikan formal yang mencakupi kurikulum, sarana, dan prasarananya dan lingkungan masyarakat yang ikut mempengaruhinya.
Apakah suatu pendidikan yang diselenggarakan sejak dari bangku SD sampai perguruan tinggi atau paling kurang sampai untuk tingkat SLTA sudah efektif atau belum. Keefektifan sebuah sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang rumah tangga tempat asal anak-anak didik dan keadaan masyarakat sekeliling sekolah. Rumah tangga dan masyarakat yang memiliki SDM yang sangat memadai dan kondisi keuangan yang cukup mapan akan membantu terselenggaranya suatu sekolah yang efektif.
Sekolah yang efektif tentu akan menjadi sekolah idola dan akan diserbu oleh banyak calon anak didik setiap awal tahun pelajaran dimulai. Anak yang efektif sangat ditentukan oleh faktor rumah dan faktor sekolah yaitu rumah yang efektif dan sekolah yang efektif pula.
Kualitas seorang anak didik sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh budaya dan suasana belajar di rumah dan di sekolah. Beberapa faktor pendukung kualitas anak di rumah adalah seperti tingkat sosial ekonomi dan Sumber Daya Manusia (SDM) orang tua serta pengaruh teman bermain dan hiburan. Sedangkan faktor pendukung di lingkungan sekolah adalah seperti tingkat SDM dan kehangatan pribadi guru, fasilitas penunjang, sarana belajar dan pengaruh budaya dan iklim belajar di sekolah itu sendiri.
Lebih dari separoh waktu kehidupan anak dihabiskan di rumah. Famili dan orang tua mempunyai peranan sangat besar dalam menentukan pribadi anak. Kualitas mereka sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan (SDM) orang tua dalam mendidik dan menumbuhkembangkan konsep belajar dalam keluarga. Kemampuan ekonomi orang tua punya peran dalam menyediakan fasilitas belajar. Ada anak dengan tingkat pendidikan orang tua rendah, biasa berhasil dalam belajar karena orang tua cukup tebal isi kantongnya untuk membiayai saran belajar. Ada lagi sebagian anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi kurang mampu, tetapi juga berhasil dalam belajar, karena orang tuanya sendiri kaya dengan wawasan SDM. Yang sangat beruntung adalah anak yang memiliki orang tua dengan SDM tinggi, kantong tebal dan teman-teman bermain memberikan pengaruh positif dalam belajar.
Pendidikan yang efektif tentu akan didukung oleh komponen-komponen yang juga efektif. Mereka adalah seperti sekolah efektif, kepala sekolah efektif, guru efektif dan murid yang efektif.
Sekolah yang efektif tentu mempunyai standar indikator seperti yang digambarkan oleh Sergio Vanio. Ia mengatakan bahwa kalau sekolah efektif murid-muridnya dinilai setiap tahun oleh pihak yang independen maka skor penilaiannya selalu meningkat. Murid-murid di sekolah itu sangat antusias dalam belajar dan ini tercermin dalam peningkatan prosentase kehadirannya. Guru sangat konsekwen dalam memberikan pekerjaan rumah (PR) dan menilai PR itu dengan konsisten. Sekolah memiliki program dan jadwal ekstrakurikuler di sekolah itu terdapat partisipasi orang tua dan masyarakat untuk peduli terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah tersebut.
Sekolah efektif sangat menghargai waktu dan akan memanfaatkannya ibarat memanfaatkan uang. Tentu saja sebagian besar waktu itu digunakan untuk belajar. Guru-guru di sekolah yang efektif mampu melaksanakan proses belajar mengajar yang bebas dari gangguan dan memberikan pekerjaan rumah dengan cara bertanggung jawab. Sekolah ini mulai dan mengakhiri kegiatan belajar betul-betul tepat waktu. Sementara itu dalam sekolah yang tidak efektif, guru-guru cenderung tidak mendukung pemahaman tujuan sekolah.
Sekolah yang efektif tentu berada di belakang pimpinan kepala sekolah yang efektif pula. Seorang kepala sekolah akan menentukan jatuh atau bangunnya kualitas suatu sekolah. Kepala sekolah asal-asalan cenderung untuk menghancurkan budaya dan iklim belajar sekolah. Sedangkan kepala sekolah yang efektif selalu komit dengan misi dan visi yang mengangkat dan melestarikan kualitas sekolahnya.
Salfen Hasri (2004;20) mendeskripsikan tentang kepala sekolah yang efektif, yang antara lain sebagai berikut: punya visi dan merealisasikannya bersama guru dan staf. Ia mempunyai harapan yang tinggi pada prestasi, selalu mengamati kualitas guru dan kualitas anak didik serta mendorong pemanfaatan waktu. Disamping itu seorang kepala sekolah yang efektif selalu memonitor prestasi individu guru, staff, siswa dan sekolah.
Kepala sekolah yang efektif sangat sadar bahwa keberadaan siswa adalah titik pokok dalam dunia pendidikan (di sekolah), maka ia sangat memonitor perkembangan siswa yang tercermin dalam peningkatan kualitas nilai tes yang bersih dari rekayasa dan manipulasi data. Ia melowongkan waktu (punya jadwal) untuk mengamati guru dalam kelas dan senantiasa berdialog tentang problem dan perbaikan pengajaran/kelas.
Kepala sekolah menjadi efektif karena ia mampu menjadi pemimpin yang efektif. Me Clure (dalam Salfen Hasri, 2004) mengatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu dalam berbagi tugas bersama siapa yang memiliki kompetensi untuk pekerjaan khusus.
Seorang pemimpin yang efektif harus mampu untuk melaksanakan "problem solving" dan "decision making", memiliki bakat memimpin serta mampu untuk bersosial yaitu untuk bekerja sama. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah sedikit sekali yang menghabiskan waktu untuk urusan kurikulum dan pengajaran.
Sumber acuan:
http://re-searchengines.com/1207marjohan2.html
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat
Aplikasi Booster Electrolyser ( Program Penghematan Bahan Bakar )
Tiap tahun volume kendaraan di Indonesia mengalami lonjakan yang signifikan. Tahun lalu, menurut data Gaikindo terjual 607.805 unit mobil baru. Dan yang lebih mengejutkan, data AISI 2008 menyebutkan total penjualan sepeda motor mencapai 6,215 juta unit. Fakta ini, selain membawa manfaat pemasukan pajak kendaraan juga memunculkan sederet permasalahan yang tak kalah serius. Antara lain volume racun gas buang meningkat, kebutuhan bahan bakar semakin besar serta meluasnya kemacetan lalu-lintas.
Mengatasi dampak negatif akibat pertumbuhan kendaraan yang tidak terkontrol, rasanya tidak cukup hanya dengan mengandalkan peran pemerintah. Produsen kendaraan (ATPM) baik mobil ataupun sepeda motor, punya kewajiban moral untuk turut serta mengurainya. Tentunya dengan langkah yang tepat agar produsen tetap boleh memproduksi kendaraan sebanyak-banyaknya tetapi pencemaran lingkungan lebih terkendali dan pemakaian bahan bakar lebih diefisienkan.
Sedangkan tugas pemerintah adalah mengurai kemacetan dengan lebih agresif membangun infrastruktur jalan. Sehingga peningkatan volume kendaraan tiap tahun seimbang dengan luasan jalan yang tersedia. Toh untuk saat ini, rasanya belum adil jika harus menekan pemerintah untuk mengeluarkan regulasi pembatasan usia mobil. Sebab masih banyak masyarakat Indonesia yang belum merasakan memiliki mobil pribadi.
Menitik beratkan pada kewajiban moral produsen kendaraan dalam upaya mengurai permasalahan tadi, langkah tepat apa yang seharusnya mereka lakukan? Dengan tidak menutup mata, harus diakui hingga saat ini produsen kendaraan telah mengembangkan teknologi yang demikian hebat. Sebut saja mobil berteknologi hybrid, berbahan bakar hydrogen hingga fuel cell. Tapi sayangnya, teknologi kelas wahid tersebut masih sangat mahal. Di negara maju saja belum booming apalagi di negera berkembang seperti Indonesia.
Mungkin hanya mobil hybrid yang mendekati kenyataan untuk dijual di Indonesia yaitu Toyota Prius. Meskipun nantinya hanya segelintir orang yang mampu membeli karena sangat mahal untuk ukuran sedan seperti Prius. Andai saja pemerintah memberlakukan insentif buat mobil hybrid tanpa syarat, mungkin bisa lain ceritanya.
Inilah fakta, bahwa teknologi modern yang telah diciptakan pabrikan kendaraan belum memenuhi unsur ekonomis sehingga penyebarannya terhambat. Lantas, apakah arif jika pabrikan kendaraan hanya berhenti sampai di sini? Pastinya tidak. Sebab masih banyak cara lain yang masih sangat mungkin untuk diciptakan. Tentunya lebih ekonomis dan memberikan manfaat tidak kalah dengan teknologi yang ada saat ini, seperti mobil hybrid ataupun hydrogen.
Booster HHO
Sekitar pertengahan tahun lalu, Indonesia dihebohkan dengan beragam berita penemuan aplikasi bahan bakar air untuk mobil. Mulai dari penemuan Joko Suprapto dari Nganjuk yang mengklaim mampu mengubah air laut menjadi Premium. Dan ada dua penemuan di Yogyakarta yaitu Bahan Bakar Nusantara oleh BWK Adjikusumo dan Banyu Geni yang dipatenkan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Meskipun pada perkembangan selanjutnya, mereka tidak mampu membuktikan hasilnya alias omong kosong.
Penemuan lainnya yaitu sepeda motor berbahan bakar air karya Voll Johanes Bosco dari Palu, Sulawesi Tengah. Voll merancang pipa reaktor air yang dipasang pada motor. Selanjutnya, air dan bensin dimasukkan bersamaan ke dalam tangki dengan perbandingan 4:1. Ketika saya lakukan test, mesin bisa menyala tetapi kurang normal saat akselerasi. Menurut hemat saya, penemuan Voll tersebut lebih cocok buat mesin stasioner, seperti mesin pembangkit listrik.
Heboh berikutnya, pengembangan alat elektrolisa air (electrolyser) yang menghasilkan brown gas atau HHO (2 hidrogen dan 1 oksigen). Saat ini pengembangan alat electrolyser cukup banyak macamnya dan diperjualbelikan. Ada electrolyser buatan Joko Sutrisno (Yogyakarta), Hendry Martin (Jakarta) serta teori pembuatan electrolyser sudah ditulis dalam buku berjudul Brown Energy, Rahasia Bahan Bakar Air karya Poempida Hidayatullah dan F. Mustari.
Elektrolisa air (electrolyser) sendiri sudah mulai diteliti sejak abad 19 atau tepatnya 1884 silam. Prosesnya dengan mengalirkan listrik searah (DC) ke lilitan kawat yang memiliki desain tertentu. Lilitan kawat direndam air murni di dalam tabung tertutup. Ketika listrik mengalir, timbul magnet pada kawat dan menghasilkan gas HHO yang memiliki sifat mudah terbakar dan memiliki berton-ton energi.
Selanjutny gas HHO yang dihasilkan electrolyser dimasukkan ke dalam silinder sebagai tambahan gas pembakaran atau booster. Sehingga energi pembakaran yang dihasilkan mesin jauh lebih besar dibanding tanpa booster HHO. Yang perlu digarisbawahi bahwa gas HHO bukan sebagai pengganti bahan bakar bensin atau solar. Biaya untuk membuat unit electrolyser juga sangat murah. Di pasaran, alat ini dijual bervariatif antara Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu.
Hasil pengujian kendaraan yang telah mengaplikasi booster HHO juga cukup menjanjikan. Antara lain pemakaian bahan bakar (bensin/solar) menjadi lebih irit, emisi gas buang rendah, mesin lebih halus, ruang bakar bersih dan mesin lebih bertenaga. Redaksi Motor Plus pernah menguji Bajaj Pulsar 180 DTSi yang sudah memasang booster HHO, hasilnya 1 liter bensin tembus 266 km. Wou, luar biasa bukan?
Data pengujian lain seperti disajikan dalam buku Brown Energy yaitu pada Toyota Avanza tembus 1:18,07 km (std 1:13) atau terjadi penghematan 39,03%. Lalu pada Mitsubishi L300 terjadi penghematan 93,98% yaitu dari 1:12 km menjadi 1:23,27 km.
Electrolyser Versi ATPM
Saat ini alat electrolyser penghasil gas HHO banyak diperjualbelikan. Tentunya dengan beragam desain dan manfaat. Tetapi mereka rata-rata mengklaim alatnya mampu melakukan penghematan antara 30 hingga 100%. Melihat kenyataan ini, saya menjadi berpikir mengapa produsen kendaraan tidak melengkapi produknya dengan booster electrolyser?
Alasan saya sederhana, jika produsen rumahan saja bisa menghasilkan alat electrolyser yang berfungsi dengan baik maka pabrikan mobil/motor pasti akan bisa menghasilkan electrolyser yang jauh lebih bagus lagi. Karena pabrikan didukung oleh para ahli yang jumlahnya lebih banyak dan beragam.
Sekarang mari coba kita hitung terjadinya penghematan jika seluruh mobil dan motor baru yang laku tahun lalu (2008) sudah dilengkapi booster elektrolisa air. Katakanlah alat tersebut mampu menghemat 30%, tidak perlu sampai 100%.
Pemakaian bahan bakar untuk mobil baru 2008 sebanyak 607.805 unit adalah sebagai berikut. Untuk memudahkan penghitungan, kita asumsikan bahan bakar Premium (Rp 4500) dengan konsumsi rata-rata 1:12 km dan rata-rata jarak tempuh per hari 50 km. Artinya setiap mobil butuh 4,167 liter Premium per hari atau totalnya 2.532.723,4 liter (Rp 11.397.255.300). Dalam setahun (365 hari) kebutuhan bensin menjadi 924.444.041 liter atau jika diuangkan menjadi Rp 4.159.998.184.500.
Sedangkan pemakaian bahan bakar untuk sepeda motor baru 2008 sebanyak 6,215 juta adalah sebagai berikut. Bahan bakar Premium (Rp 4500), konsumsi rata-rata 1:30km dan jarak tempuh per hari 50 km. Artinya setiap motor butuh 1,67 liter Premium per hari atau totalnya menjadi 10.379.050 liter (Rp 46.705.725.000). Dalam setahun kebutuhan bensin untuk motor menjadi 3.788.353.250 liter atau kalau diuangkan Rp 17.047.589.625.000.
Sekarang mari kita hitung besarnya penghematan jika pasang booster electrolisa air. Asumsinya alat tadi mampu menghemat 30%. Untuk mobil baru terjadi penghematan Rp 4.159.998.184.500 x 30% = Rp 1.247.999.455.350. Sedangkan pada motor baru terjadi penghematan sebesar Rp 17.047.589.625.000 x 30% = Rp 5.114.276.887.500.
Total penghematan untuk mobil baru dan motor baru menjadi Rp 1.247.999.455.350 + Rp 5.114.276.887.500 = Rp 5.239.076.833.050 (lebih dari Rp 5,2 triliun). Penghematan ini dengan asumsi untuk kendaraan baru yang diproduksi 2008. Bagaimana jika tahun berikutnya semua kendaraan baru sudah dipasang electrolyser? Kesimpulannya, tidak ada alasan bagi ATPM untuk tidak mencoba meriset booster electrolyser untuk tambahan fitur pada produk baru mereka.
sumber :
http://otomotifnet.com/otoblog/index.php/2009/07/09/mendorong-atpm-mengaplikasi-booster-elektrolisa-air/
Kontroversi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Profesi pendidik khususnya guru dan dosen menjadi sorotan menyongsong sertifikasi. Sertifikasi merupakan keharusan bagi pendidik untuk mengetahui kecakapan, tingkat mutu dan profesionalitas sehingga akan dihasilkan pendidik yang berkualitas. Dan pendidik yang berkualitas merupakan salah satu indikator dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pendidik ibarat sopir yang bertugas mengangkut dan mengantar penumpang sampai
kepada tujuan yang diharapkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai seorang
sopir sudah sewajarnya membutuhkan SIM (Surat Ijin Mengemudi) yang merupakan
syarat wajib profesi ini.
Para penumpang tentu akan merasa tenang dan nyaman jika sopir telah memenuhi segala persyaratan yang telah diujikan. Tetapi sebaliknya jika sopir belum dan/ atau tidak mempunyai SIM apalagi sama sekali tidak lihai mengemudi maka penumpangnya akan cemas dan bingung akan diapakan dan dikemanakan.
Di masa mendatang pendidik diwajibkan mempunyai ”SIM” (Surat Ijin Mengajar)
yang hanya dapat dimiliki setelah lulus sertifikasi. Diharapkan dengan sertifikasi pendidik mampu mengantarkan penumpang sampai kepada tujuan dengan selamat dan memuaskan.
Peran tenaga kependidikan
Jika pendidik yang diibaratkan sebagai sopir yang telah mempunyai keahlian
menyetir lantas apakah kemudian perjalanan (pendidikan) akan begitu saja terjamin keselamatannya? Ternyata tidak. Setidaknya kita harus memperhatikan kondisi mobil juga. Mulai dari hidup-tidaknya lampu sorot, berfungsi-tidaknya rem, bagus-tidaknya kondisi ban dan yang paling penting ketersediaan bahan bakar dan keadaan olinya.
Semua kelengkapan mobil itu yang selanjutnya dianalogikan sebagai tenaga
kependidikan. Sopir dan kelengkapan mobil menjadi satu jiwa utuh dalam membawa penumpangnya menjadi lebih aman dan terjamin. Tenaga kependidikan sebagai penunjang inilah yang perlu menjadi perhatian sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 bahwa (peran) tenaga kependidikan adalah penunjang penyelenggaraan pendidikan.
Adilkah jika selama ini penilaian keberhasian pendidikan hanya diukur dari faktor
pendidik (guru dan dosen) saja? Menurut hemat penulis, penilaian kesuksesan pendidikan seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Mulai dari pengaturan jadwal pembelajaran yang teratur, kelengkapan sarana-prasarana sekolah yang memadai dan memenuhi standar, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah yang selalu terjaga, manajemen sekolah yang tegas serta supervisi yang ketat. Semua faktor itu adalah peran strategis tenaga kependidikan, apakah itu staf TU, pustakawan, laboran, pesuruh/ penjaga sekolah, pengawas sekolah dan kepala sekolah.
Tetapi sayangnya saat ini tenaga kependidikan belum diperhatikan sebagaimana
pendidik. Suatu keprihatinan jika keduanya yang merupakan tenaga profesional dan juga berperan dalam peningkatan mutu pendidikan tidak disamakan. Pendidik – khususnya guru dan dosen terkesan superior dan ”dimanjakan” dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan tenaga kependidikan sampai saat ini pun belum mempunyai payung hukum yang menangani dan mengatur mereka secara jelas.
Disadari peningkatan mutu pendidikan masih memprioritaskan guru dan dosen
sebagai kemudi pendidikan. Bisa jadi pemerintah masih menganggap peran pendidik yang dominan sebagai ujung tombak pendidikan. Tetapi apakah hanya dengan mengandalkan guru dan dosen saja pendidikan akan segera bermutu? Ibarat kesatuan sopir dan kelengkapan mobil tadi. Jika sopirnya lihai tetapi remnya blong, maka keselamatan tidak akan terjamin. Kalaupun sopirnya lihai tetapi lampu sorotnya mati, maka tidak akan bisa berjalan dengan tenang di malam hari.
Peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak boleh ”menganak-emaskan” salah
satu profesi. Karena profesi yang lain juga mempunyai peran untuk ikut andil menuju terciptanya pendidikan yang bermutu. Dan sampai saat ini peran kedua profesi tersebut masih menjadi kontroversi.
Faktor Materi
Undang-Undang tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 1 dengan jelas
menyebutkan bahwa keduanya (pendidik dan tenaga kependidikan) berhak memperoleh
penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Tetapi dilihat secara materi, kelak pendidik (guru dan dosen) mempunyai gaji 2 kali dan/ atau bahkan 3 kali lebih besar dari gaji tenaga kependidikan. Demikian setidaknya amanat UU tentang guru dan dosen. Sedangkan gaji tenaga kependidikan berkutat pada nominal tunjangan yang kurang sebanding bila dibandingkan dengan tunjangan pendidik.
Faktor penghargaan secara materi inilah yang akhirnya mempengaruhi barometer
kinerja tenaga kependidikan menjadi kurang bergairah. Tanpa adanya perhatian, perbaikan & penghargaan dikhawatirkan akan muncul ketidakprofesionalan tenaga kependidikan. Hal ini diperparah oleh standar profesi dan kesejahteraan tenaga kependidikan yang selama ini hanya diatur dalam regulasi internal lembaga teknis yang menaunginya. (Kompas, 28 September 2006).
Setengah hati
Pemerintah rupanya masih setengah hati melihat peran tenaga kependidikan.
Kondisi ini dapat dilihat dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 087/ U/ 2002 tentang Akreditasi Sekolah yang perlu ditindaklanjuti secara seksama. Dalam pasal 6 kepmen tersebut menyebutkan bahwa persyaratan sekolah yang diakreditasi harus memiliki sarana dan prasarana pendidikan (ayat c) dan tenaga kependidikan (ayat d).
Tetapi anehnya syarat itu hanya menjadi lelucon saja. Banyak sekolah yang
memposisikan sarana dan prasarana (baca : perpustakaan, laboratorium) apa adanya. Bahkan tanpa menempatkan pustakawan ataupun laboran di dalamnya. Walhasil guru menjadi korban untuk ditugaskan mengurusnya. Tidak sedikit kemudian muncul ”perpustakaan siluman”. Wujud fisik perpustakaan hadir saat akreditasi saja, setelah itu lenyap entah kemana. Termasuk pustakawan di dalamnya.
Begitu juga nasib laboratorium. Banyak sekolah belum mempunyai laboran yang
fokus mengurus laboratorium. Laboratorium hanya digunakan saat praktek mata pelajaran. Jarang sekali laboratorium digunakan untuk kepentingan ilmiah yang sifatnya penelitian mandiri oleh sivitas akademika. Dan sekali lagi peran laboran cukup hanya digantikan oleh seorang guru mata pelajaran.
Pustakawan dan laboran hanyalah sebagian contoh tenaga kependidikan yang saat
ini masih menerima nasibnya dengan tidak jelas dan terkesan ”terpinggirkan”. Selama ini keberadaan mereka sebenarnya ada, tetapi terkesan tidak ada. Kalau kasus seperti ini masih saja terjadi, apakah pantas dinilai bahwa pendidikan telah bermutu?
Kesimpulan
Kegiatan belajar-mengajar tanpa peran tenaga kependidikan akan mengalami
gangguan. Karenanya tenaga kependidikan perlu ”pengakuan” dan penghargaan atas kinerjanya. Tenaga kependidikan – sebagaimana pendidik – juga perlu kejelasan hukum yang mengatur mereka. Tenaga kependidikan tidak akan berfungsi selama penghargaan tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan.
Jika kontroversi antara pendidik dan tenaga kependidikan tidak segera dituntaskan
maka permasalahan pendidikan tidak akan terselesaikan. Bahkan akan menciptakan kesenjangan antara keduanya. Akhirnya menghambat percepatan peningkatan mutu pendidikan.
Sumber :
CHAKIM MUSTHOFA
Librarian Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
[LPMP] Provinsi Kalbar.
Dimuat di harian Pontianak Pos, Selasa, 18 September 2007
UU No.20/2003 Tentang Sisdiknas
1.Segi Teknis /Ekonomis
Memberikan manfaaat ekonomi ke depannya, perbaikan ekonomi individu, keluarga dan masyarakat.
2.Segi Sosial / Manusiawi
Kontribusi pada tatanan sosial, hubungan antar manusia berkontribusi pada peradaban sehingga memeberikan perubahan yang secara terus menerus.
3.Segi Politik
Kepentingan negara, dimana warga negara tahu akan hak dan kewajibannya masing-masing, kepemimpinan, partisipasi, demokrasi, kewenangan dan lain-lain.
4.Segi Kultural
Menjaga nilai-nilai baik di masyarakat dan mengembangkan nilai-nilai yang lebih baik untuk membentuk peradaban.
Peradaban menentukan tingkat kemajuan budaya suatu bangsa dalam jangka waktu tertentu.
Fungsi budaya adalah memelihara atau mempertahankan (statis) dan pengembangan / inovasi (dinamis). Budaya lama baik dapat menimbulkan efesiensi yang out of date / kurang baik sehingga harus dilakukan perbaikan.
5.Segi Pendidikan
Proses transformasi iptek dan budaya
Mengembangkan iptek
Memberikan layanan kepada masyarakat
6.Segi Spiritual
Memahami hakikat kemanusiaan dan kesempurnaan sang pencipta.
Beberapa hal yang terdapat dalam UU No.20/2003 :
Adanya semangat desentralisasi
Pendidikan khusus / pendidikan layanan khusus
Madrasah setara dengan sekolah lainnya
Ketentuan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%
Adanya badan hukum pendidikan (BHP)
Dewan pendidikan dan komite sekolah
Sertifikasi
Penggunaan bahasa inggris
Ketentuan pidana
Manajemen Berbasis Sekolah
Sejak tahun 1998 atau masa reformasi bergulir , diberlakukannya desentralisasi pemerintahan yang merupakan hak otonomi daerah dengan memberikan pengelolan penuh pemerintahannya kepada setiap daerah. Beberapa banyak hal / bidang yang dilakukan desentralisasi atau hak otonomi yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, kecuali 5 hal berikut yang pengelolaannya tidak diberikan kepada pemerintah daerah, diantaranya :
1.Bidang keuangan
2.Bidang keagamaan
3.Bidang kehakiman / hukum
4.Bidang pertahanan dan keamanan
5.Bidang hubungan luar negeri
Beberapa hal kenapa dilakukannya manjemen berbasis sekolah, yaitu diantaranya :
1.Dilihat dari ketidaksenjangan antara sekolah yang bermutu dengan sekolah yang tidak bermutu.
MBS perlu dilakukan untuk memberikan mutu / kualitas pendidikan yang lebih baik, dengan mutu tersebut diharapkan memiliki :
- Mutu pendidikan yang tiada tandingannya
- Bersifat relatif atau berkesesuaian
- Memberikan kepauasan pelanggan
2.Adanya tanggung jawab yang seluas-luasnya kepada setiap sekolah untuk dapat meningkatkan pendidikannya.
Beberapa indikator pendidikan dengan model MBS :
1.Kepemimpinan yang kuat dan berpengaruh ( situasional ).
2.Transparansi / sikap keterbukaan.
3.Punya harapan dan cita-cita yang menjadi lebih hidup.
4.Perlu melakukan pengembangan diri dari kemampuannya.
5.Mempunyai pemikiran yang sama.
6.Partisipasi masyarakat dan orang tua.
7.Faktor lingkungan yang mendukung.
Bagaimanakah cara kita bersikap otonom :
1.Mengevaluasi diri untuk menentukan kelebihan dan kelemahan.
2.Membuat perencanaan yang matang.
3.Saling berbagi tugas.
4.Kontrol / monitoring
Paradigma Baru Manajemen Pendidikan
PERTIMBANGAN PARADIGMA BARU BAGI PENDIDIKAN
DI INDONESIA
Munculnya masalah dan isu global (Pelanggaran HAM, fenomena kekerasan, realitas multi budaya-etnik dan agama, anarkis, penyalah-gunaan narkotika dsb;
Belum terpenuhinya infrastruktur sekolah (kurangnya SDM pengelola dan guru)
Siswa kurang aktif, kreatif, mandiri dan berpikir problem solving dalam belajar.
Dalam upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada dua aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita gali untuk dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku.
1. Aspek pertama adalah dalam hal metode pembelajaran
Sejak dahulu metode pembelajaran kita selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa GURU itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiRu. Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini diharapkan akan menstimulir para siwa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya, proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.
2. Aspek kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan
Seperti kita alami selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri-sendiri secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa kini dan kedepan setiap sekolah harus mempunyai dan membangun networking antar lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar informasi, pengetahuan dan sumber daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi dipandang sebagai rival atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).
Memang jika kita pikirkan kembali kedua aspek paradigma baru ini dalam implementasinya tidak akan semudah seperti membalik telapak tangan, akan banyak ekses maupun aspek lainnya yang harus dipikirkan seperti misalnya berakibat akan adanya perubahan dan peran sebuah lembaga pendidikan yang selama ini kita pahami. Namun melalui konteks perubahan ini kelak akan jelas terlihat bagaimana sektor pendidikan akan dapat bersinergi dan seiring sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan dan bisnis sekalipun, karena ouput dari suatu pendidikan menjadi lebih berkualitas.
DARI TEACHING KE LEARNING
Latar belakang masalah :
Sebagian besar manusia belum bisa menggunakan dan memanfaatkan kehebatan potensi otak yang dimilikinya;
Sebagian besar manusia tidak mengerti dan tidak mengetahui cara memotivasi potensi yang terkandung di otak;
Keberadaan guru cenderung lebih banyak menghambat daripada memotivasi potensi otak (siswa harus mendengar, menerima dan mentaati segala perlakuan guru);
Apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah tidak integrative dengan kehidupan realistis sehari-hari;
Akibatnya :
- Siswa tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat
- Lemah dalam penalaran;
- Memiliki sifat ketergantungan pada orang lain.
Solusinya :
1.Merubah Paradigma Teaching (mengajar) menjadi Learning (belajar); proses belajar
bersama antara guru dan murid. Hal ini sesuai dengan 4 visi pendidikan menuju abad
21versi UNISCO yang berdasarkan pada paradigma learning.
- Learning to think (belajar berpikir); siswa berani menyampaikan pendapat;
- Learning to do (belajar berbuat) yaitu keterampilan siswa dalam menyelesaikan
problem keseharian;
- Learning to live together (belajar hidup bersama); pembentukan kesadaran hidup,
bahwa hidup ini harus bermanfaat bagi orang lain;
- Learning to be (belajar menjadi diri sendiri); meiliki pribadi yang mandiri;
2.Pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akademik kognitif, akan tetapi juga
berorientasi pada kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, mampu mengambil
pelajaran dari pengalaman diri dan orang lain, mampu memanfaatkan alam sekitar,
dsb; sehingga siswa mampu mengembangkan sikap kreatif dan daya pikir imaginative.
3.Metode Guru dalam mengajar tidak lagi mementingkan “subject matter” (seperti
GBPP), akan tetapi justru mementingkan kebutuhan siswa.
IMPLEMENTASI PARADIGMA BARU MANAJEMEN PENDIDIKAN
Output yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam menuju kearah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana kita mengimplemantisakan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut ini : (R.Eko Inrajit, 2006, Halaman 379)
1.Sistem Pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip “muatan
lokal, orientasi global”
2.Konten dan kurikulum yang dibuat harus berbasis pada penciptaan kompetensi siswa
(kognitif, afektif dan psikomotorik)
3.Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam
kehidupan, tidak sekedar mengawang-awang (problem base learning)
4.Fasilitas sarana dan prasarana harus berbasis teknologi informasi agar dapat
tercipta jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya
5.Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidkan harus mempunyai kemampuan
multi dimensi yang dapat merangsang multi intelejensia peserta didik
6.Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah ? Sistem informasi terpadu untuk
menunjang proses administrasi dan strategis
7.Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur
dan suprastruktur pendidikan ? Sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan
secara nasional.
PENUTUP
Kita sepaham dan sepakat pada akhirnya bahwa “nasib” keberhasilan anak bangsa ini untuk dapat berkompetisi dan berhasil memenangkan persaingan di segala sektor di era global ini berada pada institusi pendidikan
Dalam upaya menciptakan keunggulan kompetitif ini, masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif untuk dapat menumbuhkan dan menciptakan inovasi yang berharga bagi perkembangan dunia pendidikan, karena tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan nasional hanya akan menghasilkan output yang tidak mandiri, kurang percaya diri dan selalu akan tergantung pada pihak lain.
Dalam perspektif masyarakat terhadap pendidikan harus mampu menjembatani dan mengatasi kesenjangan antara proses, hasil dan pengalaman selama dibangku sekolah dengan kenyataan tuntutan hidup yang riil.
Dalam era globalisasi ini tantangan pendidikan menjadi tidak terbatas (waktu, lokasi dll), jika kita (masyarakat) berdiam diri dan tidak mempunyai keinginan untuk melakukan suatu perubahan kearah perbaikan, maka bersiap-siaplah kita sebagai bangsa akan termajinalisasikan secara alami
Sumber :
- http://edu-articles.com
judul : Menggugah Perspektif Masyarakat Terhadap Paradigma Baru Sitem Pendidikan
(Nasional)
- Drs. H. ARNADI ARKAN, M.Pd
Manajemen Pendidikan
UU Sisdiknas No.20 TH 2003 / Pasal 5 (4) ( Anak cerdas & berbakat dengan pendidikan khusus )
CERDAS ISTIMEWA?
Menurut Renzuli, anak cerdas istimewa adalah anak yang memiliki tiga komponen diatas rata-rata teman sebaya, yaitu Intellegence Quotient lebih dan sama dengan 130,Task Comitment dan Creativity Quotient diatas rata - rata (3). Dengan alat ukur ini maka siswa berhak mendapatkan pelayanan pendidikan khusus yang bersifat individual untuk lebih memaksimalkan kemampuan mereka. Masalahnya muncul karena masih banyak guru yang belum mengenal karakteristik anak cerdas istimewa dan bentuk pelayanan yang tepat untuk memaksimalkan potensi terpendam mereka. (amanat Undang-undang No.2 Th 1989 tentang Sisdiknas pasal 24 ayat 6 dan Undang-undang Sisdiknas No.20 Th 2003 pasal 5 ayat 4).
Guru dapat melakukan pengamatan dini dengan memperhatikan beberapa karakteristik seperti diatas. Beberapa karakteristik lainnya diantaranya adalah seperti yang diungkap Prof. Dr. S.C. Utami Munandar yaitu mudah menangkap pelajaran, ingatan baik, perbendaharaan kata luas, penalaran tajam (berpikir logis-kritis, memahami hubungan sebab-akibat), daya konsentrasi baik (perhatian tak mudah teralihkan), menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik, senang dan sering membaca, ungkapan diri lancar dan jelas, pengamat yang cermat. Namun selain karakteristik positif diatas, anak cerdas istimewa juga memiliki karakter negatif diantaranya tidak sabaran, tidak suka campur tangan orang lain, tidak suka hal yang rutin, sensitif dan menyukai berpikir kompleks.
BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN MEREKA?
Karena mendapatkan pelayanan khusus merupakan hak mereka, maka semua sekolah wajib melakukan perbaikan dan pembenahan dalam menangani anak cerdas istimewa. Memang ada beberapa sekolah yang melaksanakan program akselerasi sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa, namun keberadaan mereka yang mungkin ada di setiap populasi (hasil penelitian menyebutkan 2 - 5 % dari jumlah populasi potensial cerdas istimewa) masih belum dapat merasakan pelayanan yang tepat, maka semua sekolah wajib memberikan layanan kepada mereka dengan maksimal.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan pendampingan pendidikan kepada anak cerdas istimewa diantaranya adalah :
PENUTUP
Akhirnya, bagaimanapun sekolah dan guru harus mampu memberikan layanan pada siswa cerdas istimewa karena itu adalah hak bagi mereka. Juga keberadaan mereka yang selama ini termarginalkan dapat lebih eksis dan mampu menjadikan diri mereka sebagai asset bangsa di masa depan. Pelayanan kepada siswa cerdas istimewa ini pun sejalan dengan program pendidikan inklusi yang memberikan perlakukan sama kepada semua siswa dengan berbagai ciri dan karakter yang berbeda di semua sekolah.
Sumber Acuan :
homepage : http://re-searchengines.com/imam0608.html
judul : Bagaimanakah Mengajar Anak Cerdas Istimewa
Hakikat Desentralisasi Model MBS
Sejak digulirkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku 1 Januari 2001, wacana desentralisasi pemerintahan ramai dikaji. Pendidikan termasuk bidang yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi pendidikan diharapkan permasalahan pokok pendidikan yaitu masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen, dapat terpecahkan. Cukupkah desentralisasi pendidikan pada tingkat pemerintah kota/kabupaten? Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten. Desentralisasi pendidikan untuk mencapai otonomi pendidikan yang sesungguhnya harus sampai pada tingkat sekolah secara individual.
Mengapa perlu desentralisasi pendidikan? Berbagai studi tentang desentalisasi menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim, mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah tidak bisa dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Maka sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management).
Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang cocok dengan kondisi negeri ini. Namun jarang sekali yang menyinggung masalah isi (content) yang tak lain merupakan hakikat desentralisasi itu sendiri. Hakikat desentralisasi pendidikan adalah “apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan bukan aturan-aturannya (regulation).
Reformasi pendidikan di banyak negara dimulai pada dekade 1980-an. Banyak sekolah di Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang berhasil menerapkan desentralisasi pendidikan dengan model MBS. Malalui MBS sekolah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah.
Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga non-struktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat dan murid.
Hakikat DesentralisasiMenurut Wohlstetter dan Mohrman (1993) terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan yaitu power/authority, knowledge, information dan reward. Pertama, kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personnel dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemperhentian kepala sekolah, guru dan staff sekolah.
Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumberdaya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi : keterampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizational knowledge). Keterampilan kelompok diantaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterampilan berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespon perubahan.
Ketiga, hakikat lain yang harus didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder. Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Keempat, pengaharhaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa berupa fisik maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan penataran.
Dengan mendesentralisasikan empat bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik.
Sumber Acuan :
homepage : http://re-searchengines.com/nurkolis1.html
judul : Hakikat Desentralisasi Model MBS
Palang Merah Indonesia
Coba kita tengok sebentar cuplikan gambar disamping!! Sebuah simulasi yang dilakukan anggota PMI di Nangroe Aceh Darussalam dalam menghadapi bencana Tsunami yang 5 tahun Silam terjadi disana dan merenggut ribuan jiwa. Mungkin kita menyadari betapa berharganya Mereka ( PMI ) dimasa-masa selanjutnya dalam membantu berbagai kesulitan dan bencana yang menimpa warga.
Untuk itu, mari kita wujudkan tujuan organisasi PMI sebagai organisasi kemanusiaan dan mulailah dari hal terkecil untuk dapat membantu sesama.