Powered By Blogger

Jadwal Shalat

Melihat Standar Proses Pendidikan

Letak Kekuatan & Kelamahan Standar Proses

Kekuatan:

· Perangkat Pembelajaran masing-masing bidang studi sudah lengkap
· Mengadakan workshop setiap awal tahun ajaran untuk pengembangan perangkat pembelajaran (silabus, RPP, dan Sistem Penilaian).

* Fasilitas pembelajaran sudah cukup memadai (buku, ruang kelas, multimedia, perpustakaan, dll)
* Pemanfaatan sumber belajar bervariasi dan meningkat
* Guru telah mengalokasikan waktu sesuai dengan prosem
* Program remidi dan pengayaan sudah terlaksana pada semua bidang studi.
* Pengembangan muatan local (ICT) sudah berjalan dengan baik
* Pemanfaatan ICT dalam melaporkan hasil belajar siswa
* Laporan hasil belajar siswa sudah bisa diakses lewat internet
* Aturan pengawasan KBM sudah ada
* KBM sudah relative menyenangkan
* Pelaksanaan KBM pada hampir semua mata pelajaran UN sudah dilaksanakan secara team teaching

Kelemahan:

· Instrumen Penilaian masih belum lengkap
· Media pembelajaran masih belum lengkap
· Belum semua siswa dapat mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan minatnya
· Dimungkinkan masih ada guru yang belum menggunakan strategi pembelajaran yang bervariasi.
· Masih ada guru yang belum memiliki kompetensi dibidang ICT
· Masih ada guru yang belum menginternalisasikan life skill secara universal dalam KBM
· Kurang optimalnya penggunaan media pembelajaran yang tersedia oleh guru
· Belum ada program akselerasi bidang studi
· Belum optimalnya pelaksanaan program pengembangan diri (termasuk perekrutan Pembina)
· Madrasah belum mempunyai standar proses belajar mengajar
· Belum optimalnya peran komite dalam pengembangan standar proses pembelajaran
· Dimungkinkan pelaksanaan penilaian berbasis kelas belum optimal
· Pelaksanaan laporan hasil belajar siswa setiap dua bulan sekali belum terlaksana secara optimal (belum tepat waktu)
· Pengelolaan laporan hasil belajar siswa belum optimal
· Pelaksanaan aturan pengawasan KBM belum optimal
· Sosialisasi tentang aturan pengawasan KBM kepada siswa kurang optimal
· Pengisian jurnal KBM di kelas belum optimal


Kualitas Proses ( Menelaah Kualitas )

Untuk mewujudkan semua konsep kebijakan pendidikan yang menyangkut kebijakan desentralisasi pendidikan, pendekatan pengelolaan dan kelembagaan pendidikan serta sistem/kurikulum dapat menjadi bermakana adalah ujung tomabaknya pada tingkat proses pendidikan yang berkualitas . Dalam upaya mendukung pelaksanaan proses pendidikan yang berkualitas paling tidak ada tiga unsur yang sangat menunjang yaitu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), ketersediaan Sarana Prasarana/fasilitas yang memadai, dan Kemampuan finansial yang cukup.

A. Kualitas Sumber Daya Manusia
Kualitas sumber daya manusia sangat menentukan misalnya dalam hal pola managemen kepemimpinan di sekolah, dan metode pengelolaan di dalam kelas (oleh guru). Kepemimpinan kepala sekolah haruslah dapat menciptakan suasana yang kondusif dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah antar guru dan siswa. Guru yang profesional dan efektif dapat menajmin proses pemebelajaran menjadi berkualitas dan dapat mencapai keberhasilan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa, peranan guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran.
Hal tersebut sangatlah rasional, karena ketika terjadi proses belajar mengajar guru bisa melakukan apa saja yang dia kehendaki terhadap peserta didik. Guru yang profesional tentu tahu tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru. Guru yang efektif akan selalu berupaya mencapai tujuan pemebelajaran yang sudah ditetapkannya.
Akan tetapi sebaliknya karena besarnya otoritas guru didalam kelas, jika ia tidak profesional dan tidak efektif Proses pembelajaran akan menjadi sia-sia. Bahkandia bisa mematikan kretifitas siswa dan menumpulkan daya nalar.

B. Sarana Prasarana/Fasilitas
Apabila sarana dan prasarana/fasilitas tidak tersedia, maka mustahil proses pembelajaran bisa berlangsung. Kualitas proses pembelajaran juga sangat ditentukan oleh ketersedian sarana dan prasarana yang memadai. Adanya gedung sekolah yang dilengakapi dengan fasilitas lain seperti tempat duduk, meja, laburaturium, sarana perpustakaan, buku/alat belajar dan lain-lain adalah sarana yang sangat dibutuhkan untuk sebuah keberhasilan dalam proses pendidikan.Semakin lengkap sarana belajar yang tersiedia semakin besar kemungkinan mencapai keberhasilan dalam proses pembelajaran.

Sumber :

1.http://re-searchengines.com/0505nahdi2.html
2.http://imamsujarwo.man3malang.com/?p=67

KTSP vs Ujian Nasional? ( Standar Isi & Kompetensi Lulusan )

Oleh Ahmad Kusaeri

KTSP sebagai kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan tahun ini akan menjadi content kurikulum yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN) dan diharapkan dapat memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP). KTSP sebagai kurikulum yang dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah namun harus mengacu pada standar isi yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Menurut panduan penyusunan KTSP, standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam standar isi adalah kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi, dan kompetensi dasar, setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti yang ditetapkan dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006.

Rumusan itu menegaskan bahwa antara standar isi dan standar kompetensi lulusan memiliki korelasi yang kuat, dalam arti standar isi memberikan arahan bagi pengembangan silabus di tingkat sekolah yang selanjutnya diharapkan dapat mencapai standar kompetensi lulusan. Persoalannya adalah apakah antara pengembangan silabus dan standar kompetensi lulusan juga masih memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi? Sebab, bukankah dengan menyerahkan kewenangan kepada sekolah untuk mengembangkan silabusnya sendiri merupakan mekanisme yang justru meninggalkan lubang ketimpangan menganga.

Persoalan tersebut semakin intens ketika pemerintah masih menggunakan UN sebagai alat satu-satunya untuk mengukur kompetensi lulusan. Padahal, mekanisme ini sendiri masih belum sesuai dengan aturan. Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan PP 19/2005 pasal 72 Ayat (1), "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah, pertama, menyelesaikan seluruh program pembelajaran; kedua, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; ketiga, lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan keempat lulus UN.

Merujuk pada aturan tadi maka dari segi implementasi belum sesuai dengan aturan, yang hanya menggunakan UN sebagai patokan dalam menentukan kelulusan siswa. Masih pasal yang sama ayat (2), "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Di sini tampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggung jawab kepada sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. Pertanyaannya, apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia? Apakah dari segi standar isi telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama?

Jadi, kalau mau jujur secara substansial dalam KTSP tidak dikenal UN, sebab pengembangan standar isi oleh sekolah-sekolah menurut karakteristik, potensi daerah, dan kebutuhan-kebutuhan daerah, bukan diarahkan kepada pencapaian standar kompetensi lulusan, sebagaimana yang diukur hanya melalui UN. Oleh karena itu, ditemui di lapangan banyak sekolah yang cenderung mengejar target UN ketimbang maksimal dalam implementasi KTSP. Ini masalah, bagi sekolah antara KTSP dan UN, lebih banyak memilih mengejar target UN agar tingkat kelulusan tidak melorot dibandingkan dengan KTSP.

Itulah kenyataan di lapangan yang sempat ditemui penulis. Namun, pada dasarnya, penulis sendiri sepakat dengan adanya UN apalagi dalam kerangka peningkatan kapabilitas standar pendidikan nasional atau lebih luas lagi dalam konteks dunia internasional. Namun, sepertinya berdasarkan asumsi penulis, pemerintah harus memperhatikan standar nasional yang lainnya selain standar evaluasi seperti yang disaratkan dalam PP No. 19/ 2005, yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, proses, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan.

Jika setiap standar tersebut telah terimplementasikan pada setiap satuan pendidikan maka insya Allah hadirnya UN sebagai upaya penstandaran evaluasi tidak akan dipandang sebagai sesuatu yang "menakutkan" bagi siswa ataupun guru karena standar yang lainnya telah terpenuhi. Akhirnya seraya berharap semoga dunia pendidikan kita semakin baik. Amin. ***

Penulis, dosen STAI Al-Musdariyah Cimahi, anggota Majlis Sinergi Kalam ICMI Cimahi.

Sumber :
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=70688

Merapikan Benang Kusut ( Persoalan Kompetensi Lulusan )

Oleh Mungin Eddy Wibowo

PENDIDIKAN Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama yang tertuang pada Pasal 3, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Rumusan tersebut dapat diartikan pendidikan di Indonesia diharapkan dapat menghasilkan lulusan bermutu yang diakui di tingkat nasional, regional, dan internasional serta lulusannya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan karakter pribadi dan watak yang dapat diandalkan.

Tanpa menghasilkan lulusan yang bermutu, program pendidikan bukanlah investasi sumber daya manusia, melainkan justru pemborosan baik dari segi biaya, tenaga maupun waktu, serta akan menimbulkan masalah sosial.

Oleh sebab itu, negeri yang paling maju sekalipun, selalu berkepentingan untuk mengendalikan dan meningkatkan mutu lulusan sekolah dalam arti prestasi akademik pada mata pelajaran yang dianggap kunci.

Pendidikan bukan saja masalah perorangan, melainkan juga masalah bangsa sehingga bukan hanya para guru dan ahli pendidikan saja yang ikut berkepentingan atas hasil dan sistem pendidikan, pemerintah pun juga berkewajiban meningkatkan mutu pendidikan.

Untuk mengetahui sejauh mana peserta didik sudah menguasai kompetensi dalam mata pelajaran tertentu perlu dilakukan penilaian hasil belajar. Penilaian tersebut harus menggunakan instrumen penilaian yang memenuhi kriteria sahih, reliable, objektif, adil, terpadu,terbuka, menyeluruh, sistematis, beracuan kriteria, dan akuntabel. Akuntabilitas penilaian dapat dilakukan dengan ujian internal dan ujian eksternal. Ujian internal merupakan ujian yang dilakukan oleh pihak sekolah, sedangkan ujian eksternal merupakan ujian yang dilakukan oleh pihak di luar sekolah.

Ujian eksternal yang mengacu pada standar nasional pendidikan tidak mengurangi hak dan kewenangan guru dan ahli pedagogik dalam mendesain dan menyelenggarakan proses pembelajaran, yang memang juga harus mengacu pada standar nasional pendidikan yang sama.

Sebelum peserta didik menjalani ujian eksternal berupa ujian yang bersifat nasional, maka dilakukan ujian formatif dan sumatif di sekolah/madrasah. Ujian formatif adalah asesmen dan ujian yang dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung untuk melihat proses tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukan sebelum ujian yang dilaksanakan pada akhir satuan pendidikan (Silverius,1991).

Ujian sumatif adalah ujian yang dilaksanakan pada akhir unit program, caturwulan, akhir semester, dan akhir tahun guna melihat hasil yang dicapai oleh peserta didik, yakni menilai seberapa jauh tujuan-tujuan kurikuler telah dicapai dan seberapa jauh standar kompetensi lulusan (SKL) telah terpenuhi.
Setelah peserta didik ada pada akhir satuan pendidikan, maka diadakan ujian akhir. Ujian akhir yang berskala nasional disebut sebagai ujian eksternal atau Ujian Nasional (UN). Sedangkan ujian akhir yang dilakukan oleh sekolah disebut ujian internal atau Ujian Sekolah (US).

Pada saat ini kebijakan untuk menjamin mutu pendidikan adalah dengan diterapkannya standar kelulusan secara konsisten, didukung dengan sistem ujian yang bersifat eksternal berupa UN. Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan didasarkan atas hasil UN dan US.

Namun kenyataannya, UN di lapangan terkesan sebagai satu-satunya penentu kelulusan bagi peserta didik. Dengan demikian, penilaian berupa ujian selain UN kurang diperhatikan, termasuk penilaian yang bersifat kontinyu dan penilaian afektif yang dilakukan oleh sekolah/madrasah. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan kelulusan belum dilakukan secara komprehensif.
Tidak Jujur Penyelenggaraan UN yang berjalan selama ini banyak menimbulkan perilaku yang tidak jujur. Sebagai contoh, adanya ”tim sukses” di luar ruang ujian yang menyediakan jawaban bagi peserta ujian di beberapa daerah jelas menunjukkan adanya perbuatan curang dan tidak bertanggung jawab. Mereka yang tidak lulus melakukan protes dan beranggapan bahwa UN sebagai penyebab ketidaklulusan peserta didik dari sekolah/madrasah, dan dianggap pemerintah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak-anak.

Setiap akhir tahun pelajaran, menjelang pelaksanaan UN selalu terjadi kontroversi. Sebagian pendapat dengan sangat keras menyuarakan bahwa UN tidak perlu dengan berbagai argumentasi. Apalagi dengan adanya Keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan oleh pemerintah atas Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan gugatan dari 58 orang yang memperkarakan beberapa siswa tidak lulus UN.

Pemahaman yang keliru bahwa UN ditolak, padahal yang ditolak adalah kasasi bukan UN. Kasasi diajukan karena hasil keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 3 Mei 2007 memutuskan bahwa tergugat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua BSNP dianggap telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak-anak.

Pemerintah dengan diberlakukannya UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta sejak Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah melakukan perbaikan kualitas guru baik melalui peningkatan kualifikasi akademik dan uji kompetensi, perbaikan dan menambah kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi ke seluruh sekolah melalui Jardiknas.

Demikian juga BSNP telah melakukan langkah-langkah kongkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN. Pihak sekolah/madrasah, guru dan kepala sekolah/madrasah juga harus ikut melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran dan proses penilaian hasil belajar peserta didik.

Marilah kita kaji dengan berbagai argumentasi-argumentasi yang berkaitan dengan kontroversi UN secara obyektif dan pemikiran yang jernih, tidak hanya waton suloyo.

Ada sebagian pengamat pendidikan yang menolak UN dengan mengemukakan alasan pemborosan uang rakyat. Memang, hampir Rp 500 miliar dana dari APBN digunakan untuk membiayai ujian tersebut. Dana ini dipandang lebih tepat digunakan untuk kepentingan pendidikan yang lain, misalnya untuk peningkatan kualitas guru, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Sebenarnya dana sebesar itu untuk membiayai penyelenggaraan UN tidak terlalu besar, apabila dibagi dengan jumlah peserta ujian sekitar 10,5 juta orang. Dana itu sebagian besar didistribusikan ke daerah sesuai dengan jumlah peserta ujian pada masing-masing sekolah/madrasah dan daerah.

Apabila tidak ada UN, pelaksanaan Ujian Sekolah/Madrasah tetap memerlukan biaya dan dibebankan kepada APBD dan mungkin juga kepada orang tua siswa. Dengan demikian justru dengan UN beban orang tua siswa dalam pelaksanaan ujian akhir sekolah/madrasah menjadi lebih ringan, karena biaya UN ditanggung oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 69 ayat (2) bahwa setiap peserta ujian nasional tanpa dipungut biaya.
Kriteria Kelulusan Ujian Nasional merupakan instrumen untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan secara nasional, maka standar dan skalanya harusnya sama, sehingga hasilnya dapat dibandingkan baik antarsatuan pendidikan, antardaerah, maupun antarwaktu untuk pemetaan mutu pendidikan secara nasional.

BSNP dalam mengembangkan kriteria kelulusan mempertimbangkan keragaman mutu pendidikan secara nasional dan tolok ukur (benchmark) yang bersifat regional maupun internasional.

Kriteria kelulusan peserta didik yang dikembangkan oleh BSNP tidak menghambat penuntasan program wajib belajar. BSNP menetapkan kriteria kelulusan cukup rendah dan dinaikan secara bertahap.

Batas kelulusan dimulai dengan nilai 3,01 pada waktu kali pertama ditetapkan sistem UN, pada tahun 2010 kriteria kelulusan masih sama dengan tahun 2009 yaitu nilai rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran, dengan nilai 4 maksimal dua mata pelajaran, dan mata pelajaran lainnya minimal 4,25.

Dengan kenaikan secara bertahap, tentunya sekolah/madrasah yang masih kurang baik, terdorong untuk melakukan langkah-langkah perbaikan, untuk dapat maju dan berkembang lebih baik.

Sekolah/madrasah sebagai lembaga pendidikan, seharusnya berupaya untuk terus meningkatkan mutu, memberikan kompetensi yang mencukupti kepada peserta didik sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.

Sesuai dengan ketentuan PP 19 Tahun 2005 Pasal 68, hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Hal ini sangat penting bagi peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di seluruh tanah air. Berdasarkan data hasil UN, pemerintah dapat memberikan bantuan dan pembinaan yang lebih tepat guna dan tepat sasaran kepada sekolah/madrasah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah seharusnya memprioritaskan alokasi sumberdaya untuk membantu dan membina sekolah/madrasah yang perkembangan mutu pendidikannya belum baik, belum mencapai standar nasional pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan dan menuju sekolah/ madrasah yang memenuhi standar nasional pendidikan (sekolah/madrasah kategori mandiri).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dalam pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, pengadaan dan peningkatan profesionalisme guru,dan berbagai program pembinaan lainnya.

Ujian Nasional justru menjadi alat dan pendorong bagi terwujudnya pemerataan sarana dan prasarana serta jumlah dan mutu guru di seluruh sekolah/madrasah, seluruh daerah, secara lebih tepat dan lebih terarah
Dalam rangka kebijakan pengendalian mutu pendidikan, maka hal penting dalam konteks ini adalah perlunya diterapkan standar kelulusan secara konsisten, didukung dengan sistem ujian yang kesternal tapi non-birokartis.

Apabila hal ini diterapkan maka peserta didik yang tidak mencapai standar tidak akan diluluskan, sehingga akan termotivasi untuk belajar lebih giat untuk mencapai kelulusan. Sebaliknya, guru tentunya akan mengajar lebih serius agar peserta didiknya dapat lulus dengan baik. Oleh karena itu, sistem ujian dapat dijadikan alat untuk mereformasi pendidikan agar kualitas lulusannya lebih terjamin dan lebih akuntabel. (45)

(Prof Dr H Mungin Eddy Wibowo MPd Kons, Guru Besar Unnes, anggota BSNP, dan Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN))

Sumber :
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2009/12/23/92564

Tak Sekedar Alokasi Anggaran ( Ketersediaan Sarana & Prasarana Pend. )

Oleh : Yenti Nurhidayat

Dalam hitungan waktu yang tidak terpaut jauh, sejumlah sekolah di Kota Bandung ambruk. Ironisnya, kejadian ini malah terjadi setelah sekolah tersebut mendapatkan sejumlah dana untuk melakukan perbaikan. Dan yang lebih menarik, pengelolaan anggaran yang disediakan untuk rehabilitasi bangunan sekolah tersebut dilakukan secara swakelola.

Kejadian demi kejadian ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, ada apa sebenarnya dibalik praktek pengelolaan anggaran pendidikan kita? Apakah kesalahan tersebut terletak di pola managemen pengelolaan swakelola ataukah ada hal lain yang sebenarnya lebih mendasar. Penting bagi kita untuk mengkaji persoalan ini secara jernih untuk memastikan kejadian serupa tidak akan terulang mengingat hampir sebagian besar sarana prasarana belajar yang kita miliki sekarang berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan.

Tanggung Jawab Pemerintah

Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam proses kehidupan sebuah bangsa. Karena seperti halnya kesehatan, pendidikan tidak hanya berbicara tentang masa sekarang tetapi juga berkaitan dengan masa depan. Sehingga sangat tepat kiranya jika kita menyebut upaya pendidikan sebagai sebuah bentuk investasi.

Jika kita cermati, urusan wajib belajar adalah tanggung jawab hukum (liability) pihak pemerintah. Artinya, pemerintah tidak hanya memiliki tanggung jawab sosial atau politik saja, tapi juga tanggung jawab hukum yang jika tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi. Ini lah yang membedakannya dengan tanggung jawab masyarakat dalam hal pendidikan. Masyarakat memiliki tanggung jawab juga, tapi tanggung jawab yang diembannya haruslah dimaknai bukan sebagai tanggung jawab hukum, melainkan tanggung jawab sosial (responsibility) untuk turut berperan serta dalam memajukan pendidikan. Tanggung jawab sosial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk sumbangan tenaga, dana, waktu, pemikiran, keikutsertaan dalam mendirikan sekolah dan sebagainya.

Penyelenggaraan pendidikan nasional mengacu pada UU sisdiknas 20/2003. Dalam ketentuan umumnya yang dimaksud “Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Setidaknya ada delapan komponen yang diamanatkan untuk distandarisasi atau yang menjadi kreteria minimal dalam bidang pendidikan secara nasional. Komponen-komponen tersebut, antara lain; standar isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, standar pembiayaan serta penilaian pendidikan.

Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan mempunyai peran penting dalam proses belajar-mengajar. Ketersediaan dan kelengkapan Sarana seperti: meja-kursi, alat tulis menulis, papan tulis, media belajar, ketersediaan buku pelajaran 1:1 per siswa dan perabot lainnya yang mendukung proses belajar mengajar; prasarana seperti: lahan, ruang kelas, ruang guru/pendidikan, ruang untuk tenaga kependidikan, perpustakaan, laboratorium, audiotorium, tempat ibadah, kantin, taman, dll. Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengejar ketersediaan dan kelengkapan tersebut membutuhkan dukungan yang sangat besar baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Secara umum, ketersedian sekolah untuk menampung keseluruhan siswa (jumlah penduduk usia sekolah) pada setiap jenjang pendidikan perlu diperhitungkan dengan matang. Ketersediaan ini setidaknya untuk menjawab pemerataan pendidikan. Ada dua aspek pemerataan pendidikan; pertama, aspek Equality (Persamaan Kesempatan), yakni meninjau apakah akses terhadap pendidikan sudah merata; kedua, aspek Equity (Keadilan), yakni meninjau apakah kesempatan memperoleh pendidikan telah sama antar berbagai kelompok masyarakat.

Tetap penting dicatat, bahwa persoalan sarana dan prasarana pendidikan tidak cukup pada tingkatan ketersedian sekolah pada setiap jenjang pendidikan. Mutu atau kelayakan sarana maupun prasarana yang ada juga harus diperhitungkan, terutama untuk bangunan/ruang kelas, perpustakaan, laboratorium dan kelengkapannya. Bangunan kelas yang rusak tentu akan mempengaruhi kualitas proses belajar mengajar yang terjadi.

Menurut data yang tercatat oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung, paling tidak terdapat sekitar 4 ruang kelas TK rusak dan satu diantaranya rusak berat. Untuk tingkat sekolah dasar dari total 640 sekolah, 1.157 ruang kelas dalam keadaan rusak ringan, 241 kelas rusak sedang, dan 268 kelas rusak berat. Di tingkat SMP/MI ada 230 kelas rusak ringan, 28 kelas rusak sedang dan 29 kelas rusak berat. Untuk tingkat SMA, ada 141 kelas rusak ringan, 16 kelas rusak sedang dan 4 kelas rusak berat. Untuk MA ada 8 kelas rusak ringan dan 1 kelas rusak berat. Sedangkan untuk tingkat SMK ada 75 kelas rusak ringan, 2 kelas rusak sedang dan 1 kelas rusak berat (Tribun Jabar) yang membutuhkan penanganan segera.

Walaupun untuk menanggulangi hal tersebut, Pemerintah Kota Bandung dalam APBD Tahun 2009 telah mengalokasikan dana sekitar Rp.128 miliar ditambah, 16,5 miliar dari Dana Alokasi Khusus dan Rp.5 miliar dari Dana Pendamping DAK. Namun persoalannya kemudian, apakah tanggung jawab pemerintah ini cukup diwujudkan melalui pengalokasian anggaran?

Belajar dari Kasus

Atap Sekolah Dasar (SD) Sejahtera yang beralamat di Jl. Sejahtera Bandung, ambruk setelah seminggu sebelumnya direnovasi. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Dari pemberitaan di sejumlah media masa diketahui bahwa sekolah sebagai pihak pengelola dana rehabilitasi telah melakukan sejumlah perubahan dalam RAB (Rancangan Anggaran Belanja). Alokasi anggaran sebesar Rp.230 juta yang sedianya diperuntukan untuk merenovasi 8 bangunan kelas kemudian dipergunakan untuk merenovasi 10 bangunan kelas ditambah 3 WC dan satu bangunan untuk penjaga sekolah. Dari pemantauan media masa pula diketahui bahwa untuk memperbanyak jumlah bangunan yang direnovasi tersebut, pihak sekolah mengorbankan kualitas bangunan dengan mengunakan kayu-kayu bekas. Kemudian hari diketahui juga bahwa pemerintah Kota Bandung dalam hal ini Dinas Pendidikan relative lalai dalam melakukan pengawasan. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada SD Babakan Surabaya dan SMP Pasundan Babakan Ciparay yang juga berlokasi di Kota Bandung.

Belajar dari ketiga kasus ambruknya sekolah tersebut, paling tidak ada beberapa hal penting yang dapat menjadi catatan kita. Pertama, pihak pengelola cenderung abai terhadap standarisasi kualitas bangunan. Alokasi dana rehabilitasi yang terbatas sementara kebutuhan lebih banyak menyebabkan pengelola anggaran mencoba “mensiasati” hal ini dengan mengurangi kualitas bahan bangunan.

Kedua, adanya realita dimana pihak pengelola anggaran dalam hal ini sekolah tidak memiliki kapasitas yang cukup terutama mengenai spesifikasi teknis bahan bangunan. Sebenarnya hal ini bisa diantisipasi dengan pemilihan rekanan kerja yang memang professional di bidangnya, namun tanpa adanya petunjuk teknis pelaksanaan yang jelas akan membuka peluang untuk terjadinya penyelewengan.

Ketiga, perlunya peningkatan peran orang tua dan komite sekolah, terutama dalam proses-proses perencanaan dan pengawasan internal. Dengan keterlibatan orang tua dan komite sekolah di dalam proses perencanaan dan pengawasan diharapkan setiap kegiatan yang dilakukan akan semakin tepat sasaran.

Keempat, sedapat mungkin ketersediaan anggaran untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Untuk itu, perlu dilakukan studi untuk menghitung berapa besaran yang dibutuhkan untuk memperbaiki setiap unit bangunan sehingga dapat memenuhi standar kualitas bangunan yang baik dan layak.

Kelima, perlu disusun mekanisme pengawasan yang jelas di dalam proses pelaksanaan kegiatan. Bila kita lihat kasus yang telah terjadi, hingga saat ini pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan anggaran juga cenderung lalai dalam melakukan pengawasan. Pada dasarnya penyerahan wewenang untuk mengelola anggaran pendidikan terutama yang ditujukan bagi perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan bertujuan untuk meningkatkan tranparansi dan akuntabilitas di dalam pengelolaan anggaran. Meskipun manajemen swakelola dalam rehabilitasi ruang kelas diperbolehkan secara aturan, pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan tidak bisa melepas sekolah sepenuhnya. Pengawasan ketat terutama terkait pemenuhan standar pembangunan mutlak dilakukan.

* tulisan ini sudah pernah dipublikasikan dalam Harian Tribun Jabar, 4 April 2009

Sumber :
http://jurnal-kesejahteraan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=50:tak-sekedar-alokasi-anggaran&catid=37:problematika&Itemid=67

Peran Komite Sekolah ( dalam Pembiayaan Pendidikan )

Oleh Dr. H. Oong Komar, M.Pd.
dosen Universitas Pendidikan Indonesia.

Pengelolaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan terkesan antagonis. Komunitas pendidikan menuntut agar personal pendidikan memperoleh peningkatan kesejahteraan sekaligus peningkatan mutu pelayanannya. Guru menuntut pemerintah memenuhi hak kesejahteraannya sebagaimana amanat UU 14 / 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pemerintah dan masyarakat menuntut peningkatan mutu pelayanan pendidikan tanpa peningkatan kesejahteraan yang bersumber dari masyarakat.Kondisi ini semakin mencuat dengan terbitnya PP No. 48 tentang Pendanaan Pendidikan. Bahkan untuk tingkat satuan SD dan SMP lebih "tragis" terkait terbitnya PP No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Dalam aturan tersebut, pembiayaan pendidikan dasar ditanggung oleh pemerintah. Artinya, merupakan langkah awal terlaksananya pendanaan pendidikan yang gratis untuk tingkat wajar dikdas 9 tahun (SD dan SMP), yaitu tanpa memungut dana dari masyarakat.

Yang perlu mendapat perhatian ialah masa krisis pendanaan. Yaitu, suatu situasi antara penjelasan pejabat terkait tentang masa berlakunya PP No. 47 tahun 2008 dengan urgensi pembiayaan menyangkut keperluan sekolah, seperti biaya kegiatan kesiswaan, kegiatan kurikulum, tagihan listrik, ledeng, langganan koran, majalah dan internet, petugas sampah dan cleaning service. Tak kalah santernya tuntutan menyangkut honor guru tidak tetap (honorer) dan instruktur ekstrakurikuler, insentif guru, pembelian peralatan kegiatan belajar, pemeliharaan gedung, dan penyelesaian sarana dan prasarana sebagaimana diprogramkan dalam RAPBS.

Menghadapi situasi ini, yang paling "terpukul" adalah SD dan SMP favorit sebagai pengguna dana masyarakat paling besar. Personal komite sekolah, khususnya pada sekolah yang difavoritkan, mendapat paling banyak tekanan. Pertama, keluhan dari siswa tentang penurunan pelayanan pendidikan dari sekolah, khususnya pelayanan kegiatan ekstrakurikuler. Kedua, keluhan dari sekolah menyangkut dana untuk berbagai tagihan. Ketiga, dari pejabat terkait yang belum merestui pungutan dari orang tua siswa. Keempat, tingkat kepedulian orang tua siswa jadi menurun sehubungan dengan terbitnya PP 47 dan 48 tersebut.

Dalam situasi ini, lembaga komite sekolah dengan berbagai peran yang dimilikinya menjadi beku, tak berdaya menjembatani antara sekolah dan pemerintah serta masyarakat. Bahkan tampak beberapa peran komite sekolah tak diperlukan lagi untuk masa mendatang. Padahal dalam UU No. 20/2003 disebutkan bahwa komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1). Dalam situasi sekarang, kepedulian komite sekolah nyaris tak berdaya.

Analisis hukum menunjukkan eksistensi komite sekolah yang cukup kuat. Misalnya pada UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, diatur pada pasal 51, 56, dan 66. Dalam penjelasan pasal 51 tersuratkan bahwa bentuk otonomi manajemen satuan pendidikan ialah melakukan pengelolaan kegiatan pendidikan oleh kepala sekolah dan guru serta dibantu komite sekolah. Pasal 56 ayat (1) dan (3) tersuratkan bahwa fungsinya melalui komite sekolah masyarakat dapat berperan serta dalam penyelengaraan pendidikan. Melalui komite sekolah, masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan berupa perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Kedudukan komite sekolah sebagai lembaga mandiri yang dibentuk untuk memberikan petimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pada tingkat satuan pendidikan. Dan pasal 66 menyuratkan bahwa komite sekolah sebagai salah satu unsur yang bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan.

Kiranya komite sekolah berharap kepada stakeholder, khususnya Disdik untuk memberi solusi pendanaan program sekolah yang mendesak sampai akhir tahun anggaran (APBN/APBD), yaitu Desember 2008. Paling tidak, Disdik merestui secara tertulis untuk memungut DSP dan SPP sampai Desember 2008. Tentunya jenis pungutan yang dilakukan komite sekolah itu melalui prosedur yang benar dan sah, yaitu mengadakan rapat musyawarah dengan orang tua siswa mengenai program sekolah, bersifat tidak memaksa, yaitu sekolah tetap memberikan pelayanan bagi siswa yang benar-benar tidak mampu membayar dan ada pertanggungjawaban penggunaan keuangan. Bahkan komite setuju, dengan upaya penanggulangan biaya keperluan sekolah sampai Desember 2008 tersebut dengan membentuk panitia ad hoc yang semua anggotanya orang tua siswa. Cara ini untuk menyelamatkan program sekolah yang sedang berjalan.

Di samping itu, sekolah berharap segera menerima dari Disdik juknis tentang jenis-jenis pembiayaan mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan itu, sekolah dapat menyikapi program-program sekolah yang sedang berjalan, sekalipun harus merampingkan dan atau menghentikan program tersebut. Andaipun program sekolah tersebut tidak tercakup dalam pembiayaan yang menjadi tanggung jawab negara, tentu mulai Januari 2009 program-program itu terpaksa dihentikan dan personal/petugasnya pun ikut mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Lebih jauh, komite sekolah berharap agar segera terealisasi pasal 56 ayat (4) UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu PP yang mengatur Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. PP itu dapat mengatur peran mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah/pemerintah daerah, mana yang menjadi tanggung jawab komite sekolah, dan mana yang menjadi tanggung jawab masyarakat. Termasuk porsi pembiayaannya.

Sumber :

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=32030

Evaluasi Berbasis KD Menuju Sukses UN ( Standar Penilaian )

Oleh Ujang Wihatma, M.Pd.

SALAH satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) guru adalah melaksanakan penilaian atau evaluasi. Dalam ilmu standardisasi tes prestasi, kita mengenal pengertian itu bahwa penilaian atau evaluasi secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu program.

SEIRING dengan perkembangan kurikulum saat ini, yaitu dari Kurikulum Tahun 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi/Kurikulum 2004, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), terdapat perubahan mendasar dari cara guru melaksanakan tupoksinya (baca dalam penilaian), yaitu penilaian berbasis bahan ajar (evaluasi dilakukan setelah seperangkat bahan ajar selesai diajarkan) ke penilaian berbasis kompetensi dasar (evaluasi dilakukan setelah satu KD selesai diajarkan). Itulah sebabnya pendekatan penilaian itu menggunakan pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Hal ini pun diperkuat lagi secara tersurat dengan lahirnya standar penilaian pendidikan (Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 Tanggal 11 Juni 2007).

Selanjutnya bagaimana seorang guru melaksanakan evaluasi hariannya dengan berbasis kompetensi dasar (KD)? Langkah pertama adalah para guru seyogianya menganalisis KD di setiap mata pelajaran. Ini akan berguna untuk merencanakan penilaian selanjutnya. Hasil analisisnya akan tertuang dalam pemetaan KD. Ia akan dikaitkan dengan aspek-aspek yang harus dinilai. Dari kegiatan pemetaan KD akan melahirkan item-item soal evaluasi (dalam evaluasi harian berbasis KD seyogianya soal berbentuk uraian, bukan multiple choice). Kedua, melaksanakan penilaian itu setelah satu KD selesai diajarkan. Dalam konteks ini, tetapkan aturan penilaian yang berorientasi pada penilaian acuan patokan (PAP). Ketiga, koreksilah hasil pekerjaan siswa setelah evaluasi dilaksanakan. Hasil koreksi ini akan membagi siswa ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok siswa yang tuntas (nilai di atas kriteria ketuntasan minimal atau KKM), dan kelompok siswa yang belum tuntas (nilai kurang dari KKM).

Setelah diperoleh informasi siswa mana yang tuntas dan mana yang tidak/belum tuntas, kegiatan selanjutnya adalah remedial. Remedial ini bisa dikelompokkan menjadi tes remedial (bagi para siswa yang belum tuntas karena kecerobohan dalam mengerjakan/menjawab soal), dan remedial teaching (bagi para siswa yang belum tuntas karena tidak bisa menyelesaikan/mengerjakan soal akibat belum/tidak tahu/tidak bisa). Setelah selesai mengerjakan remedial teaching (baik kelompok atau individu), dilakukan tes kembali dengan soal yang relatif sama atau sama dengan soal-soal pada tes semula. Aktivitas remedial harus memerhatikan kuantitas serta kualitasnya, paling tidak tentang beberapa aturan pokok yaitu remedial hanya dilakukan maksimal 2-3 kali dan para siswa yang meraih ketuntasan pascakegiatan remedial mendapat nilai sama dengan KKM yang ditetapkan.

Terdapat satu kesalahan yang sering dilakukan guru yaitu lupa mengadministrasikan kegiatan remedial dan pengayaan serta melaksanakan kegiatan remedial tidak sungguh-sungguh. Dalam kegiatan remedial, minimal guru mengadministrasikan hal-hal seperti siapa yang diremedial, kapan dilaksanakan, berapa nilai yang diraih siswa setelah remedial. Bila tidak, akan sangat kesulitan bila hal itu diperlukan untuk memenuhi tuntutan administrasi, dan nilai yang diperoleh siswa tidak mencerminkan kemampuan yang sebenarnya. Bagaimana siswa yang sudah tiga kali diremedial, tapi belum juga tuntas atau mencapai KKM? Idealnya siswa semacam ini harus ditangani secara khusus melalui kegiatan yang berkolaborasi dengan guru bimbingan konseling (BK) dan orang tua/wali. Selanjutnya, kalau pokok penyebabnya telah ditemukan, lakukanlah kegiatan remedial dengan baik. Harus disadari betul oleh semua guru bahwa tugas profesi ini memang sangat melelahkan, tapi di situlah seni dan tantangannya.

Evaluasi berbasis KD ini akan memberi kontribusi positif pada upaya meningkatkan kelulusan siswa dalam kegiatan evaluasi yang diadakan oleh pihak luar, misalnya ujian nasional (UN). Asumsinya, jika siswa telah tuntas menguasai KD yang disyaratkan untuk satu tingkatan pendidikan, ketika di tingkat akhir ia diuji dengan ujian yang dilakukan oleh pihak di luar guru-gurunya, pasti mereka akan dapat melaluinya dengan baik dan sukses. Lalu mengapa masih ada siswa yang tidak lulus UN? Jawabannya akan sangat beragam, minimal tergantung pada dua hal pokok, yaitu kualitas pelaksanaan evaluasi harian berbasis KD dan kesiapan siswa itu sendiri. Selamat mencoba mengevaluasi siswa kita dengan berbasis KD. ***

Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=9849

Akreditasi Sekolah/Madrasah ( UN Berdasar Akreditasi Sekolah )

AKREDITASI adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Ia adalah sebuah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan satuan dan/atau program pendidikan yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk sertifikat pengakuan dan peringkat kelayakan yang dikeluarkan oleh satuan lembaga yang mandiri dan profesional.

Adapun tujuan dari akreditasi sekolah/madrasah adalah untuk; (1) memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah dan/atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan; (2) memberikan pengakuan peringkat kelayakan; dan (3) memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait. Agar kegiatan akreditasi sekolah/madrasah berfungsi efektif sebagai pengetahuan, akuntabilitas, dan pembinaan/pengembangan, maka kegiatan akreditasi sekolah/madrasah tersebut harus didasarkan atas prinsip-prinsip; objektif, komprehensif, adil, transparan, akuntabel, dan profesional.

Berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku bahwa semua satuan dan program pendidikan harus terakreditasi. Menurut informasi terkini, apabila pada tahun 2012 nanti, satuan dan/atau program pendidikan tidak terakreditasi, maka ia dilarang mengeluarkan ijasah. Waktu berjalan cepat, dan tahun 2012 semakin dekat, sementara kegiatan akreditasi sekolah/madrasah belum berjalan secara efektif atau masih banyak sekolah yang telah diakreditasi, namun menunjukkan kategori tidak terakreditasi, karena kompleksnya permasalahan dan terbatasnya pendanaan, bukankah nanti akan menjadi bom waktu timbulnya keresahan di masyarakat, jika anak bangsa yang telah mengikuti proses pendidikan 3-6 tahun, namun tidak memperoleh ijasah.

Melihat artikel yang dimuat dari Suaranews.com ( Cyber News ):

Setiap ujian nasional (UN) tiba, setiap sekolah akan berlomba untuk kesuksesan siswanya dalam mengikuti UN. Untuk meraih target itu bahkan sekolah sering mengesampingkan risiko, antara lain dengan memaksakan akreditasi sekolah. ”Saat ini kemampuan sekolah itu tercermin dalam status akreditasi sekolah yang dipaksakan juga untuk memenuhi standar kelulusan UN,” kata Drs Rismono MPd, kemarin.

Selama ini akreditasi sekolah berkaitan dengan prestise sekolah. Muncul anggapan kualitas sekolah tercermin dari status akreditasi. Oleh karena itu banyak sekolah berlomba untuk mendapatkan nilai akreditasi yang tinggi melebihi kondisi atau kemampuan sekolah yang sebenarnya. Bahkan banyak sekolah menempuh cara-cara yang ”tidak elegan.” Hal ini memicu ketidakberimbangan antara kualitas sekolah dengan mutu kelulusan, yang seharusnya berjalan beriringan.

Dengan kondisi yang njomplang di atas pakar pendidikan Kota Tegal yang akan meraih gelar profesor itu mengatakan perlunya dilakukan upaya agar UN dilakukan menyesuaikan dengan tingkat akreditasi sekolah.

Menurut dia, tujuan penyesuaian itu agar tecipta keadilan. Sekolah dengan status akreditasi A dikelompokkan dengan tingkat kesulitan soal UN dalam kelompok tingkat A. Demikian pula untuk sekolah akreditasi B, C dan D.
”Yang terjadi saat ini, standar kelulusan UN ”dipaksakan” diberlakukan untuk keseluruhan sekolah. Padahal kualitas sekolah terkait akreditasi itu sangat berbeda-beda, sehingga itu menentukan kesiapan sekolah dan siswanya,” katanya.

Sekolah dengan akreditasi A, tentu memiliki perbedaan indikator dengan sekolah yang hanya terakreditasi C atau D, apalagi bagi sekolah yang belum terakreditasi. Dengan segala keterbatasan fasilitas yang dimiliki, tentu ada sekolah yang harus menelan pil pahit atas pemberlakuan standar kelulusan yang diberlakukan sama dengan tingkat kesulitan soal yang sama pula.

Untuk itu Rismono berpendapat, penyelenggaraan UN tidak sama atau berdasarkan status akreditasi sekolah perlu digagas demi penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan. Hal itu juga dinilainya akan mampu mengurangi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN.

sumber :
1.http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/05/02/61949/UN.Berdasarkan.Tingkat.Akreditasi.Sekolah
2.http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=27077