Powered By Blogger

Jadwal Shalat

Peran Komite Sekolah ( dalam Pembiayaan Pendidikan )

Oleh Dr. H. Oong Komar, M.Pd.
dosen Universitas Pendidikan Indonesia.

Pengelolaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan terkesan antagonis. Komunitas pendidikan menuntut agar personal pendidikan memperoleh peningkatan kesejahteraan sekaligus peningkatan mutu pelayanannya. Guru menuntut pemerintah memenuhi hak kesejahteraannya sebagaimana amanat UU 14 / 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pemerintah dan masyarakat menuntut peningkatan mutu pelayanan pendidikan tanpa peningkatan kesejahteraan yang bersumber dari masyarakat.Kondisi ini semakin mencuat dengan terbitnya PP No. 48 tentang Pendanaan Pendidikan. Bahkan untuk tingkat satuan SD dan SMP lebih "tragis" terkait terbitnya PP No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Dalam aturan tersebut, pembiayaan pendidikan dasar ditanggung oleh pemerintah. Artinya, merupakan langkah awal terlaksananya pendanaan pendidikan yang gratis untuk tingkat wajar dikdas 9 tahun (SD dan SMP), yaitu tanpa memungut dana dari masyarakat.

Yang perlu mendapat perhatian ialah masa krisis pendanaan. Yaitu, suatu situasi antara penjelasan pejabat terkait tentang masa berlakunya PP No. 47 tahun 2008 dengan urgensi pembiayaan menyangkut keperluan sekolah, seperti biaya kegiatan kesiswaan, kegiatan kurikulum, tagihan listrik, ledeng, langganan koran, majalah dan internet, petugas sampah dan cleaning service. Tak kalah santernya tuntutan menyangkut honor guru tidak tetap (honorer) dan instruktur ekstrakurikuler, insentif guru, pembelian peralatan kegiatan belajar, pemeliharaan gedung, dan penyelesaian sarana dan prasarana sebagaimana diprogramkan dalam RAPBS.

Menghadapi situasi ini, yang paling "terpukul" adalah SD dan SMP favorit sebagai pengguna dana masyarakat paling besar. Personal komite sekolah, khususnya pada sekolah yang difavoritkan, mendapat paling banyak tekanan. Pertama, keluhan dari siswa tentang penurunan pelayanan pendidikan dari sekolah, khususnya pelayanan kegiatan ekstrakurikuler. Kedua, keluhan dari sekolah menyangkut dana untuk berbagai tagihan. Ketiga, dari pejabat terkait yang belum merestui pungutan dari orang tua siswa. Keempat, tingkat kepedulian orang tua siswa jadi menurun sehubungan dengan terbitnya PP 47 dan 48 tersebut.

Dalam situasi ini, lembaga komite sekolah dengan berbagai peran yang dimilikinya menjadi beku, tak berdaya menjembatani antara sekolah dan pemerintah serta masyarakat. Bahkan tampak beberapa peran komite sekolah tak diperlukan lagi untuk masa mendatang. Padahal dalam UU No. 20/2003 disebutkan bahwa komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1). Dalam situasi sekarang, kepedulian komite sekolah nyaris tak berdaya.

Analisis hukum menunjukkan eksistensi komite sekolah yang cukup kuat. Misalnya pada UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, diatur pada pasal 51, 56, dan 66. Dalam penjelasan pasal 51 tersuratkan bahwa bentuk otonomi manajemen satuan pendidikan ialah melakukan pengelolaan kegiatan pendidikan oleh kepala sekolah dan guru serta dibantu komite sekolah. Pasal 56 ayat (1) dan (3) tersuratkan bahwa fungsinya melalui komite sekolah masyarakat dapat berperan serta dalam penyelengaraan pendidikan. Melalui komite sekolah, masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan berupa perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Kedudukan komite sekolah sebagai lembaga mandiri yang dibentuk untuk memberikan petimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pada tingkat satuan pendidikan. Dan pasal 66 menyuratkan bahwa komite sekolah sebagai salah satu unsur yang bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan.

Kiranya komite sekolah berharap kepada stakeholder, khususnya Disdik untuk memberi solusi pendanaan program sekolah yang mendesak sampai akhir tahun anggaran (APBN/APBD), yaitu Desember 2008. Paling tidak, Disdik merestui secara tertulis untuk memungut DSP dan SPP sampai Desember 2008. Tentunya jenis pungutan yang dilakukan komite sekolah itu melalui prosedur yang benar dan sah, yaitu mengadakan rapat musyawarah dengan orang tua siswa mengenai program sekolah, bersifat tidak memaksa, yaitu sekolah tetap memberikan pelayanan bagi siswa yang benar-benar tidak mampu membayar dan ada pertanggungjawaban penggunaan keuangan. Bahkan komite setuju, dengan upaya penanggulangan biaya keperluan sekolah sampai Desember 2008 tersebut dengan membentuk panitia ad hoc yang semua anggotanya orang tua siswa. Cara ini untuk menyelamatkan program sekolah yang sedang berjalan.

Di samping itu, sekolah berharap segera menerima dari Disdik juknis tentang jenis-jenis pembiayaan mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan itu, sekolah dapat menyikapi program-program sekolah yang sedang berjalan, sekalipun harus merampingkan dan atau menghentikan program tersebut. Andaipun program sekolah tersebut tidak tercakup dalam pembiayaan yang menjadi tanggung jawab negara, tentu mulai Januari 2009 program-program itu terpaksa dihentikan dan personal/petugasnya pun ikut mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Lebih jauh, komite sekolah berharap agar segera terealisasi pasal 56 ayat (4) UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu PP yang mengatur Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. PP itu dapat mengatur peran mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah/pemerintah daerah, mana yang menjadi tanggung jawab komite sekolah, dan mana yang menjadi tanggung jawab masyarakat. Termasuk porsi pembiayaannya.

Sumber :

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=32030

0 komentar:

Posting Komentar