Powered By Blogger

Jadwal Shalat

Malpraktek Dunia Pendidikan ( Proses Penilaian Pendidikan )

A. PENILAIAN

Di sebuah kelas terlihat seorang guru yang begitu sibuknya menjejali siswa dengan berbagai hafalan yang merupakan tuntutan kurikulum. Setelahnya terlihat betapa sang guru begitu disibukkan dengan penilaian yang panjang dan melelahkan ( apalagi siswanya). Guru disibukkan dengan penilaian dari semua hal yang dikerjakan siswa dalam proses belajar dengan dalil penilaian proses. Belum lagi pemberian PR dan latihan-latihan soal dengan alasan untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap sebuah kompetensi yang harus dikuasainya. Ditambah tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa yang katanya untuk menilai kinerja ataupun performa siswa. Selanjutnya siswa mengikuti test formatif setiap akhir dari satu bab pembelajaran yang berisi beberapa indikator. Alih-alih sebagai alat ukur seberapa jauh tingkat pemahaman dan penguasaan siswa terhadap kompetensi dan indikator tersebut. Dan akhirnya proses ini disempurnakan dengan test sumatif pada setiap akhir term dengan tujuan melihat penguasaan standar kompetensi yang seharusnya dikuasai siswa. Semuanya masuk ke dalam proses penilaian rapot.

Outputnya adalah sebuah deretan panjang proses penilaian terhadap siswa yang terdiri dari Test Harian / LK + test formatif + performa + tugas / PR + Test Sumatif = Siswa cerdas atau siswa bodoh. Jika nilainya baik maka baiklah masa depan anak itu. Jika nilainya jelek maka suramlah masa depan anak itu.

Sudah saatnya kita meninggalkan sistem penilaian dan evaluasi pembelajaran semacam ini. Ada beberapa alasan yang dapat saya ungkapkan terkait masalah ini :

1.Penilaian semacam ini tidak memberikan siswa ruang untuk berbuat kesalahan. Mengapa?. Karena setiap kesalahan yang ia lakukan dalam mengerjakan setiap test diatas langsung berpengaruh kepada nilai rapot.

2.Output dari proses penilaian di atas mengarah kepada labeling dan cap stempel pada diri siswa. Siswa cerdas atau bodoh.

3.Muncul peng”kasta”an siswa. Low, middle, atau high. Apalagi jika ditambah dengan perangkingan.

4.Siswa dan guru terobsesi untuk pencapaian nilai.

5.Terjadinya distorsi makna belajar.

MALPRAKTEK 1# Siswa sekolah untuk belajar bukan untuk dinilai

Hal ini bukan berarti penilaian tidak penting dalam sebuah proses belajar di sekolah. Penilaian dan evaluasi belajar merupakan bagian penting dari proses pembelajaran. Namun orientasi penilaian bukan sekedar siswa mencapai poin nilai standar tetapi sebagai perangkat untuk membantu siswa melalui tahap belajarnya. Juga menjadi bahan evaluasi guru menilai efektifas dari metode, gaya, dan cara pengajaran yang ia terapkan. Dengan penilaian tersebut guru dapat mencoba cara lain atau pendekatan lain yang dimengerti siswa dalam memahami sebuah kompetensi. Sekolah yang berorientasi masa depan tidak menjadikan semua hal yang dikerjakan siswa dalam proses belajar, PR, ulangan harian atau LK harian, test formatif sebagai komponen dari sistem grading atau penilaian di akhir term. Jika siswa salah dalam mengerjakan ulangan harian, LK, PR harian ataupun formatif maka tidak dimasukkan sebagai bahan penyusunan nilai rapot. Melainkan sebagai feed back bagi anak dan guru untuk mengubah atau meningkatkan cara belajar dan pengajarannya.

Inilah hakikat belajar. Belajar adalah sebuah proses memahami. Hak siswa untuk diantarkan mencapai pemahaman tersebut. Bukan sekedar dinilai kalau mampu memahami berarti cerdas dan alhamdulilllah, dan jika jelek tidak diberikan lagi haknya untuk mencapai tingkat pemahaman yang utuh dan tuntas. Padahal tanggung jawab seorang guru, dan tentu sekolah, mengantarkan siswa terhadap sebuah pemahaman yang utuh dan tuntas. Kesalahan mungkin terjadi, tapi terus diikuti umpan balik.

Jadi penilian dilakukan dalam rangka mengetahui di posisi mana siswa berada. Untuk menetapkan posisi siswa dapat diterapkan sistem penilaian Introduced ( I ), Progressing (P), dan Mastery (M). I menandakan siswa baru berada pada posisi belajar atau tahapan proses memahami. P menandakan siswa telah memahami dan dalam proses melatih dan menyempurnakan pemahamannya. M siswa telah mampu mengobservasi dan siap berpindah pada tahapan selanjutnya. Barulah pada akhir term (semester atau cawu) dilakukan evaluasi akhir atas siklus pembelajaran yang telah berlangsung. Sekali lagi, evaluasi sumatif ini tidak bertujuan untuk menggolong-golongkan siswa, tetapi sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana proses belajar itu berlangsung. Juga sebagai alat evaluasi guru mengukur efektifitas pengajarannya.

Mengapa penilaian dilakukan di akhir ?.

A. Davies dalam bukunya Making, Classroom Assesment Work mengibaratkan penilaian layaknya latihan terjun payung. Anak yang cemerlang dalam proses latihan namun kinerjanya dan pemahamannya berkurang di akhir masa pelatihan tidalah lebih baik dibanding seorang siswa yang awal latihan buruk, namun karena selalu mendapat umpan balik dari setiap kesalahannya, mendapat masukan dan bimbingan dengan berbagai cara dan metode yang dipahami dirinya, siswa dengan kesungguhan usahanya kemudian tampil cemerlang di akhir masa pelatihan. Sebagai guru jika diminta pilihanya anda akan memilih yang mana ?

Nah, jika tujuan siswa bersekolah mendapatkan nilai yang cemerlang, atau setidaknya melampaui standar nilai minimal, rasanya institusi sekolah tidak cocok untuk itu. Mendingan tuh anak dimasukan ke BIMBINGAN BELAJAR saja. Kan sesuai dengan moto bimbingan belajar, “ Meningkatkan Prestasi Belajar ( baca : NILAI MATA PELAJARAN )”. Karena sekali lagi, belajar adalah proses.

Sumber :
http://erisetiawan.blog.com/2007/04/17/malpraktek-dunia-pendidikan/comment-page-1/#comment-6

1 komentar:

akvifore mengatakan...

lantas, bagaimana qta mengatasi hal ini?? -.-

Posting Komentar