Oleh Ahmad Kusaeri
KTSP sebagai kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan tahun ini akan menjadi content kurikulum yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN) dan diharapkan dapat memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP). KTSP sebagai kurikulum yang dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah namun harus mengacu pada standar isi yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Menurut panduan penyusunan KTSP, standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam standar isi adalah kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi, dan kompetensi dasar, setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti yang ditetapkan dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006.
Rumusan itu menegaskan bahwa antara standar isi dan standar kompetensi lulusan memiliki korelasi yang kuat, dalam arti standar isi memberikan arahan bagi pengembangan silabus di tingkat sekolah yang selanjutnya diharapkan dapat mencapai standar kompetensi lulusan. Persoalannya adalah apakah antara pengembangan silabus dan standar kompetensi lulusan juga masih memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi? Sebab, bukankah dengan menyerahkan kewenangan kepada sekolah untuk mengembangkan silabusnya sendiri merupakan mekanisme yang justru meninggalkan lubang ketimpangan menganga.
Persoalan tersebut semakin intens ketika pemerintah masih menggunakan UN sebagai alat satu-satunya untuk mengukur kompetensi lulusan. Padahal, mekanisme ini sendiri masih belum sesuai dengan aturan. Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan PP 19/2005 pasal 72 Ayat (1), "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah, pertama, menyelesaikan seluruh program pembelajaran; kedua, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; ketiga, lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan keempat lulus UN.
Merujuk pada aturan tadi maka dari segi implementasi belum sesuai dengan aturan, yang hanya menggunakan UN sebagai patokan dalam menentukan kelulusan siswa. Masih pasal yang sama ayat (2), "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Di sini tampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggung jawab kepada sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. Pertanyaannya, apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia? Apakah dari segi standar isi telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama?
Jadi, kalau mau jujur secara substansial dalam KTSP tidak dikenal UN, sebab pengembangan standar isi oleh sekolah-sekolah menurut karakteristik, potensi daerah, dan kebutuhan-kebutuhan daerah, bukan diarahkan kepada pencapaian standar kompetensi lulusan, sebagaimana yang diukur hanya melalui UN. Oleh karena itu, ditemui di lapangan banyak sekolah yang cenderung mengejar target UN ketimbang maksimal dalam implementasi KTSP. Ini masalah, bagi sekolah antara KTSP dan UN, lebih banyak memilih mengejar target UN agar tingkat kelulusan tidak melorot dibandingkan dengan KTSP.
Itulah kenyataan di lapangan yang sempat ditemui penulis. Namun, pada dasarnya, penulis sendiri sepakat dengan adanya UN apalagi dalam kerangka peningkatan kapabilitas standar pendidikan nasional atau lebih luas lagi dalam konteks dunia internasional. Namun, sepertinya berdasarkan asumsi penulis, pemerintah harus memperhatikan standar nasional yang lainnya selain standar evaluasi seperti yang disaratkan dalam PP No. 19/ 2005, yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, proses, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan.
Jika setiap standar tersebut telah terimplementasikan pada setiap satuan pendidikan maka insya Allah hadirnya UN sebagai upaya penstandaran evaluasi tidak akan dipandang sebagai sesuatu yang "menakutkan" bagi siswa ataupun guru karena standar yang lainnya telah terpenuhi. Akhirnya seraya berharap semoga dunia pendidikan kita semakin baik. Amin. ***
Penulis, dosen STAI Al-Musdariyah Cimahi, anggota Majlis Sinergi Kalam ICMI Cimahi.
Sumber :
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=70688
0 komentar:
Posting Komentar