Oleh Mungin Eddy Wibowo
PENDIDIKAN Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama yang tertuang pada Pasal 3, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Rumusan tersebut dapat diartikan pendidikan di Indonesia diharapkan dapat menghasilkan lulusan bermutu yang diakui di tingkat nasional, regional, dan internasional serta lulusannya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan karakter pribadi dan watak yang dapat diandalkan.
Tanpa menghasilkan lulusan yang bermutu, program pendidikan bukanlah investasi sumber daya manusia, melainkan justru pemborosan baik dari segi biaya, tenaga maupun waktu, serta akan menimbulkan masalah sosial.
Oleh sebab itu, negeri yang paling maju sekalipun, selalu berkepentingan untuk mengendalikan dan meningkatkan mutu lulusan sekolah dalam arti prestasi akademik pada mata pelajaran yang dianggap kunci.
Pendidikan bukan saja masalah perorangan, melainkan juga masalah bangsa sehingga bukan hanya para guru dan ahli pendidikan saja yang ikut berkepentingan atas hasil dan sistem pendidikan, pemerintah pun juga berkewajiban meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk mengetahui sejauh mana peserta didik sudah menguasai kompetensi dalam mata pelajaran tertentu perlu dilakukan penilaian hasil belajar. Penilaian tersebut harus menggunakan instrumen penilaian yang memenuhi kriteria sahih, reliable, objektif, adil, terpadu,terbuka, menyeluruh, sistematis, beracuan kriteria, dan akuntabel. Akuntabilitas penilaian dapat dilakukan dengan ujian internal dan ujian eksternal. Ujian internal merupakan ujian yang dilakukan oleh pihak sekolah, sedangkan ujian eksternal merupakan ujian yang dilakukan oleh pihak di luar sekolah.
Ujian eksternal yang mengacu pada standar nasional pendidikan tidak mengurangi hak dan kewenangan guru dan ahli pedagogik dalam mendesain dan menyelenggarakan proses pembelajaran, yang memang juga harus mengacu pada standar nasional pendidikan yang sama.
Sebelum peserta didik menjalani ujian eksternal berupa ujian yang bersifat nasional, maka dilakukan ujian formatif dan sumatif di sekolah/madrasah. Ujian formatif adalah asesmen dan ujian yang dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung untuk melihat proses tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukan sebelum ujian yang dilaksanakan pada akhir satuan pendidikan (Silverius,1991).
Ujian sumatif adalah ujian yang dilaksanakan pada akhir unit program, caturwulan, akhir semester, dan akhir tahun guna melihat hasil yang dicapai oleh peserta didik, yakni menilai seberapa jauh tujuan-tujuan kurikuler telah dicapai dan seberapa jauh standar kompetensi lulusan (SKL) telah terpenuhi.
Setelah peserta didik ada pada akhir satuan pendidikan, maka diadakan ujian akhir. Ujian akhir yang berskala nasional disebut sebagai ujian eksternal atau Ujian Nasional (UN). Sedangkan ujian akhir yang dilakukan oleh sekolah disebut ujian internal atau Ujian Sekolah (US).
Pada saat ini kebijakan untuk menjamin mutu pendidikan adalah dengan diterapkannya standar kelulusan secara konsisten, didukung dengan sistem ujian yang bersifat eksternal berupa UN. Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan didasarkan atas hasil UN dan US.
Namun kenyataannya, UN di lapangan terkesan sebagai satu-satunya penentu kelulusan bagi peserta didik. Dengan demikian, penilaian berupa ujian selain UN kurang diperhatikan, termasuk penilaian yang bersifat kontinyu dan penilaian afektif yang dilakukan oleh sekolah/madrasah. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan kelulusan belum dilakukan secara komprehensif.
Tidak Jujur Penyelenggaraan UN yang berjalan selama ini banyak menimbulkan perilaku yang tidak jujur. Sebagai contoh, adanya ”tim sukses” di luar ruang ujian yang menyediakan jawaban bagi peserta ujian di beberapa daerah jelas menunjukkan adanya perbuatan curang dan tidak bertanggung jawab. Mereka yang tidak lulus melakukan protes dan beranggapan bahwa UN sebagai penyebab ketidaklulusan peserta didik dari sekolah/madrasah, dan dianggap pemerintah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak-anak.
Setiap akhir tahun pelajaran, menjelang pelaksanaan UN selalu terjadi kontroversi. Sebagian pendapat dengan sangat keras menyuarakan bahwa UN tidak perlu dengan berbagai argumentasi. Apalagi dengan adanya Keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan oleh pemerintah atas Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan gugatan dari 58 orang yang memperkarakan beberapa siswa tidak lulus UN.
Pemahaman yang keliru bahwa UN ditolak, padahal yang ditolak adalah kasasi bukan UN. Kasasi diajukan karena hasil keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 3 Mei 2007 memutuskan bahwa tergugat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua BSNP dianggap telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak-anak.
Pemerintah dengan diberlakukannya UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta sejak Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah melakukan perbaikan kualitas guru baik melalui peningkatan kualifikasi akademik dan uji kompetensi, perbaikan dan menambah kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi ke seluruh sekolah melalui Jardiknas.
Demikian juga BSNP telah melakukan langkah-langkah kongkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN. Pihak sekolah/madrasah, guru dan kepala sekolah/madrasah juga harus ikut melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran dan proses penilaian hasil belajar peserta didik.
Marilah kita kaji dengan berbagai argumentasi-argumentasi yang berkaitan dengan kontroversi UN secara obyektif dan pemikiran yang jernih, tidak hanya waton suloyo.
Ada sebagian pengamat pendidikan yang menolak UN dengan mengemukakan alasan pemborosan uang rakyat. Memang, hampir Rp 500 miliar dana dari APBN digunakan untuk membiayai ujian tersebut. Dana ini dipandang lebih tepat digunakan untuk kepentingan pendidikan yang lain, misalnya untuk peningkatan kualitas guru, sarana dan prasarana, dan sebagainya.
Sebenarnya dana sebesar itu untuk membiayai penyelenggaraan UN tidak terlalu besar, apabila dibagi dengan jumlah peserta ujian sekitar 10,5 juta orang. Dana itu sebagian besar didistribusikan ke daerah sesuai dengan jumlah peserta ujian pada masing-masing sekolah/madrasah dan daerah.
Apabila tidak ada UN, pelaksanaan Ujian Sekolah/Madrasah tetap memerlukan biaya dan dibebankan kepada APBD dan mungkin juga kepada orang tua siswa. Dengan demikian justru dengan UN beban orang tua siswa dalam pelaksanaan ujian akhir sekolah/madrasah menjadi lebih ringan, karena biaya UN ditanggung oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 69 ayat (2) bahwa setiap peserta ujian nasional tanpa dipungut biaya.
Kriteria Kelulusan Ujian Nasional merupakan instrumen untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan secara nasional, maka standar dan skalanya harusnya sama, sehingga hasilnya dapat dibandingkan baik antarsatuan pendidikan, antardaerah, maupun antarwaktu untuk pemetaan mutu pendidikan secara nasional.
BSNP dalam mengembangkan kriteria kelulusan mempertimbangkan keragaman mutu pendidikan secara nasional dan tolok ukur (benchmark) yang bersifat regional maupun internasional.
Kriteria kelulusan peserta didik yang dikembangkan oleh BSNP tidak menghambat penuntasan program wajib belajar. BSNP menetapkan kriteria kelulusan cukup rendah dan dinaikan secara bertahap.
Batas kelulusan dimulai dengan nilai 3,01 pada waktu kali pertama ditetapkan sistem UN, pada tahun 2010 kriteria kelulusan masih sama dengan tahun 2009 yaitu nilai rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran, dengan nilai 4 maksimal dua mata pelajaran, dan mata pelajaran lainnya minimal 4,25.
Dengan kenaikan secara bertahap, tentunya sekolah/madrasah yang masih kurang baik, terdorong untuk melakukan langkah-langkah perbaikan, untuk dapat maju dan berkembang lebih baik.
Sekolah/madrasah sebagai lembaga pendidikan, seharusnya berupaya untuk terus meningkatkan mutu, memberikan kompetensi yang mencukupti kepada peserta didik sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
Sesuai dengan ketentuan PP 19 Tahun 2005 Pasal 68, hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Hal ini sangat penting bagi peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di seluruh tanah air. Berdasarkan data hasil UN, pemerintah dapat memberikan bantuan dan pembinaan yang lebih tepat guna dan tepat sasaran kepada sekolah/madrasah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah seharusnya memprioritaskan alokasi sumberdaya untuk membantu dan membina sekolah/madrasah yang perkembangan mutu pendidikannya belum baik, belum mencapai standar nasional pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan dan menuju sekolah/ madrasah yang memenuhi standar nasional pendidikan (sekolah/madrasah kategori mandiri).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dalam pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, pengadaan dan peningkatan profesionalisme guru,dan berbagai program pembinaan lainnya.
Ujian Nasional justru menjadi alat dan pendorong bagi terwujudnya pemerataan sarana dan prasarana serta jumlah dan mutu guru di seluruh sekolah/madrasah, seluruh daerah, secara lebih tepat dan lebih terarah
Dalam rangka kebijakan pengendalian mutu pendidikan, maka hal penting dalam konteks ini adalah perlunya diterapkan standar kelulusan secara konsisten, didukung dengan sistem ujian yang kesternal tapi non-birokartis.
Apabila hal ini diterapkan maka peserta didik yang tidak mencapai standar tidak akan diluluskan, sehingga akan termotivasi untuk belajar lebih giat untuk mencapai kelulusan. Sebaliknya, guru tentunya akan mengajar lebih serius agar peserta didiknya dapat lulus dengan baik. Oleh karena itu, sistem ujian dapat dijadikan alat untuk mereformasi pendidikan agar kualitas lulusannya lebih terjamin dan lebih akuntabel. (45)
(Prof Dr H Mungin Eddy Wibowo MPd Kons, Guru Besar Unnes, anggota BSNP, dan Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN))
Sumber :
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2009/12/23/92564
0 komentar:
Posting Komentar