Oleh : Yenti Nurhidayat
Dalam hitungan waktu yang tidak terpaut jauh, sejumlah sekolah di Kota Bandung ambruk. Ironisnya, kejadian ini malah terjadi setelah sekolah tersebut mendapatkan sejumlah dana untuk melakukan perbaikan. Dan yang lebih menarik, pengelolaan anggaran yang disediakan untuk rehabilitasi bangunan sekolah tersebut dilakukan secara swakelola.
Kejadian demi kejadian ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, ada apa sebenarnya dibalik praktek pengelolaan anggaran pendidikan kita? Apakah kesalahan tersebut terletak di pola managemen pengelolaan swakelola ataukah ada hal lain yang sebenarnya lebih mendasar. Penting bagi kita untuk mengkaji persoalan ini secara jernih untuk memastikan kejadian serupa tidak akan terulang mengingat hampir sebagian besar sarana prasarana belajar yang kita miliki sekarang berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan.
Tanggung Jawab Pemerintah
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam proses kehidupan sebuah bangsa. Karena seperti halnya kesehatan, pendidikan tidak hanya berbicara tentang masa sekarang tetapi juga berkaitan dengan masa depan. Sehingga sangat tepat kiranya jika kita menyebut upaya pendidikan sebagai sebuah bentuk investasi.
Jika kita cermati, urusan wajib belajar adalah tanggung jawab hukum (liability) pihak pemerintah. Artinya, pemerintah tidak hanya memiliki tanggung jawab sosial atau politik saja, tapi juga tanggung jawab hukum yang jika tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi. Ini lah yang membedakannya dengan tanggung jawab masyarakat dalam hal pendidikan. Masyarakat memiliki tanggung jawab juga, tapi tanggung jawab yang diembannya haruslah dimaknai bukan sebagai tanggung jawab hukum, melainkan tanggung jawab sosial (responsibility) untuk turut berperan serta dalam memajukan pendidikan. Tanggung jawab sosial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk sumbangan tenaga, dana, waktu, pemikiran, keikutsertaan dalam mendirikan sekolah dan sebagainya.
Penyelenggaraan pendidikan nasional mengacu pada UU sisdiknas 20/2003. Dalam ketentuan umumnya yang dimaksud “Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Setidaknya ada delapan komponen yang diamanatkan untuk distandarisasi atau yang menjadi kreteria minimal dalam bidang pendidikan secara nasional. Komponen-komponen tersebut, antara lain; standar isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, standar pembiayaan serta penilaian pendidikan.
Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan mempunyai peran penting dalam proses belajar-mengajar. Ketersediaan dan kelengkapan Sarana seperti: meja-kursi, alat tulis menulis, papan tulis, media belajar, ketersediaan buku pelajaran 1:1 per siswa dan perabot lainnya yang mendukung proses belajar mengajar; prasarana seperti: lahan, ruang kelas, ruang guru/pendidikan, ruang untuk tenaga kependidikan, perpustakaan, laboratorium, audiotorium, tempat ibadah, kantin, taman, dll. Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengejar ketersediaan dan kelengkapan tersebut membutuhkan dukungan yang sangat besar baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Secara umum, ketersedian sekolah untuk menampung keseluruhan siswa (jumlah penduduk usia sekolah) pada setiap jenjang pendidikan perlu diperhitungkan dengan matang. Ketersediaan ini setidaknya untuk menjawab pemerataan pendidikan. Ada dua aspek pemerataan pendidikan; pertama, aspek Equality (Persamaan Kesempatan), yakni meninjau apakah akses terhadap pendidikan sudah merata; kedua, aspek Equity (Keadilan), yakni meninjau apakah kesempatan memperoleh pendidikan telah sama antar berbagai kelompok masyarakat.
Tetap penting dicatat, bahwa persoalan sarana dan prasarana pendidikan tidak cukup pada tingkatan ketersedian sekolah pada setiap jenjang pendidikan. Mutu atau kelayakan sarana maupun prasarana yang ada juga harus diperhitungkan, terutama untuk bangunan/ruang kelas, perpustakaan, laboratorium dan kelengkapannya. Bangunan kelas yang rusak tentu akan mempengaruhi kualitas proses belajar mengajar yang terjadi.
Menurut data yang tercatat oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung, paling tidak terdapat sekitar 4 ruang kelas TK rusak dan satu diantaranya rusak berat. Untuk tingkat sekolah dasar dari total 640 sekolah, 1.157 ruang kelas dalam keadaan rusak ringan, 241 kelas rusak sedang, dan 268 kelas rusak berat. Di tingkat SMP/MI ada 230 kelas rusak ringan, 28 kelas rusak sedang dan 29 kelas rusak berat. Untuk tingkat SMA, ada 141 kelas rusak ringan, 16 kelas rusak sedang dan 4 kelas rusak berat. Untuk MA ada 8 kelas rusak ringan dan 1 kelas rusak berat. Sedangkan untuk tingkat SMK ada 75 kelas rusak ringan, 2 kelas rusak sedang dan 1 kelas rusak berat (Tribun Jabar) yang membutuhkan penanganan segera.
Walaupun untuk menanggulangi hal tersebut, Pemerintah Kota Bandung dalam APBD Tahun 2009 telah mengalokasikan dana sekitar Rp.128 miliar ditambah, 16,5 miliar dari Dana Alokasi Khusus dan Rp.5 miliar dari Dana Pendamping DAK. Namun persoalannya kemudian, apakah tanggung jawab pemerintah ini cukup diwujudkan melalui pengalokasian anggaran?
Belajar dari Kasus
Atap Sekolah Dasar (SD) Sejahtera yang beralamat di Jl. Sejahtera Bandung, ambruk setelah seminggu sebelumnya direnovasi. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Dari pemberitaan di sejumlah media masa diketahui bahwa sekolah sebagai pihak pengelola dana rehabilitasi telah melakukan sejumlah perubahan dalam RAB (Rancangan Anggaran Belanja). Alokasi anggaran sebesar Rp.230 juta yang sedianya diperuntukan untuk merenovasi 8 bangunan kelas kemudian dipergunakan untuk merenovasi 10 bangunan kelas ditambah 3 WC dan satu bangunan untuk penjaga sekolah. Dari pemantauan media masa pula diketahui bahwa untuk memperbanyak jumlah bangunan yang direnovasi tersebut, pihak sekolah mengorbankan kualitas bangunan dengan mengunakan kayu-kayu bekas. Kemudian hari diketahui juga bahwa pemerintah Kota Bandung dalam hal ini Dinas Pendidikan relative lalai dalam melakukan pengawasan. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada SD Babakan Surabaya dan SMP Pasundan Babakan Ciparay yang juga berlokasi di Kota Bandung.
Belajar dari ketiga kasus ambruknya sekolah tersebut, paling tidak ada beberapa hal penting yang dapat menjadi catatan kita. Pertama, pihak pengelola cenderung abai terhadap standarisasi kualitas bangunan. Alokasi dana rehabilitasi yang terbatas sementara kebutuhan lebih banyak menyebabkan pengelola anggaran mencoba “mensiasati” hal ini dengan mengurangi kualitas bahan bangunan.
Kedua, adanya realita dimana pihak pengelola anggaran dalam hal ini sekolah tidak memiliki kapasitas yang cukup terutama mengenai spesifikasi teknis bahan bangunan. Sebenarnya hal ini bisa diantisipasi dengan pemilihan rekanan kerja yang memang professional di bidangnya, namun tanpa adanya petunjuk teknis pelaksanaan yang jelas akan membuka peluang untuk terjadinya penyelewengan.
Ketiga, perlunya peningkatan peran orang tua dan komite sekolah, terutama dalam proses-proses perencanaan dan pengawasan internal. Dengan keterlibatan orang tua dan komite sekolah di dalam proses perencanaan dan pengawasan diharapkan setiap kegiatan yang dilakukan akan semakin tepat sasaran.
Keempat, sedapat mungkin ketersediaan anggaran untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Untuk itu, perlu dilakukan studi untuk menghitung berapa besaran yang dibutuhkan untuk memperbaiki setiap unit bangunan sehingga dapat memenuhi standar kualitas bangunan yang baik dan layak.
Kelima, perlu disusun mekanisme pengawasan yang jelas di dalam proses pelaksanaan kegiatan. Bila kita lihat kasus yang telah terjadi, hingga saat ini pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan anggaran juga cenderung lalai dalam melakukan pengawasan. Pada dasarnya penyerahan wewenang untuk mengelola anggaran pendidikan terutama yang ditujukan bagi perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan bertujuan untuk meningkatkan tranparansi dan akuntabilitas di dalam pengelolaan anggaran. Meskipun manajemen swakelola dalam rehabilitasi ruang kelas diperbolehkan secara aturan, pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan tidak bisa melepas sekolah sepenuhnya. Pengawasan ketat terutama terkait pemenuhan standar pembangunan mutlak dilakukan.
* tulisan ini sudah pernah dipublikasikan dalam Harian Tribun Jabar, 4 April 2009
Sumber :
http://jurnal-kesejahteraan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=50:tak-sekedar-alokasi-anggaran&catid=37:problematika&Itemid=67
0 komentar:
Posting Komentar